Cerita Pagi dari Bukit Punthuk Setumbu

Hari masih benar-benar gulita. Tidak ada cahaya bintang pun rembulan. Sedangkan lampu neon terakhir yang tergantung di tiang sudah saya lewati 10 menit yang lalu. Senter yang saya bawa pun cahayanya tidak begitu terang. Sret, sret, sret. Kami bertiga melangkah dengan hati-hati. Jalan tanah yang terus menanjak ini sangat licin. Semalam hujan mengguyur tanpa henti, menyisakan genangan lumpur yang membahayakan.

Sandal gunung yang sudah lapuk ini tidak banyak membantu. Solnya sudah sangat tipis, sehingga tidak kuat mencengkeram tanah. Berkali-kali saya hampir tergelincir, untung tubuh masih bisa menyeimbangkan diri.

Di depan, seorang kawan melangkah tercepuk-cepuk. Dia anak kota yang kami kerjain. Dia bilang ingin mengunjungi Borobudur. Lantas saya ajak dia untuk melihat Borobudur dari sisi lain lebih dulu sebelum nantinya menjejak disana. Dia pun mengangguk mengiyakan, tanpa dia sadari bahwa anggukannya menghasilkan derita yang berkepanjangan. Akhirnya subuh-subuh yang ditingkahi gerimis seperti ini dia terpaksa harus berjalan di atas lumpur.

Sepintas saya merasa kasihan. Tapi sudah terlanjur basah, jadi perjalanan mengejar matahari di Bukit Punthuk Setumbu ini tetap dilaksanakan. Saya lirik flat shoesnya yang sudah tidak berbentuk akibat penuh lumpur. Dia nampak kesulitan melangkah. Beberapa kali tergelincir, untung tidak sampai jatuh berdebum. Saya pun beberapa kali menggandengnya dan memilihkan jalan yang sedikit manusiawi. Sedangkan kawan saya satunya telahb jauh melangkah di depan. Maklum dia pendaki gunung sekaligus pelari. Bukit setinggi 400 meter ini bukanlah apa-apa baginya.

“Masih berapa lama lagi?” tanya kawan saya yang datang dari jauh ini sambil terengah-engah. Sepintas saya lihat rona wajahnya yang memerah akibat lelah. Keringat bercampur gerimis mengalir dari wajahnya. “Sebentar lagi. Ayo mbak semangat!” teriak kawan yang satunya dari kejauhan. Saya tersenyum mengangguk. “Ini pertama kali saya treking subuh-subuh di jalan seperti ini,” katanya. Saya kembali tersenyum. Sudah saya duga.

Setelah melewati tanjakan demi tanjakan dan nyaris tergelincir berkali-kali, kami pun melihat gazebo di puncak bukit. Suasana di atas penuh riuh dengan celoteh segerombol remaja yang juga hendak menyaksikan sunrise. Dari hasil nguping, saya tau mereka datang dari Jogja pagi buta menerobos hujan, lebih dini dari kami.

Begitu sampai di gazebo, kawan saya langsung terduduk dengan lemas. Diambilnya botol air mineral dari tas, lantas diminumnya dengan cepat. Kawan satunya sibuk mencari spot paling baik untuk mengambil gambar. Saya memilih berdiri sambil mondar-mandir supaya tidak begitu merasakan dingin. Bodohnya saya, jaket yang seharusnya mampu menahan dingin lupa terbawa. Saya hanya bertahan dengan hem lengan panjang dan syal. Sementara angin bertiup dengan kencang, menebarkan aroma dingin dan lembab, basah.

Beberapa menit kemudian datang seorang giude dan seorang fotografer. Tak berapa lama setelah kedatangan mereka, sekelompok ibu-ibu dari Korea turut bergabung. Suasana pun berubah menjadi sangat ribut. Pagi tenteram yang saya idamkan sirna sudah. Ibu-ibu tadi berbicara dengan sangat keras dengan bahasa yang tidak saya pahami sama sekali. Seolah tak mau kalah, gerombolan remaja yang pertama juga ikut-ikutan berteriak. Apalagi setelah semburat muncul di ufuk timur. Emak-emak tadi langsung bersorak kegirangan.

Rupanya pagi ini kami kurang beruntung. Matahari hanya muncul sekilas, lantas menghilang dibalik awan. Dua puncak gunung, Merapi dan Merbabu, juga tertutup awan tebal. Mungkin peri pagi yang menyimpan aneka warna  sedang cuti, hingga akhirnya peri kelabu yang menaburkan warna di atas semesta. Sendu. Apalagi mendadak kabut pekat muncul menyelimuti kawasan nun jauh di bawah. Deretan Perbukitan Menoreh di belakang kami juga menghilang ditelan kabut.

Kawan saya tersenyum kecut. Tidak ada matahari pagi ini. Itu berarti tidak ada hasil foto yang dia ingini. Kelompok ibu-ibu dan gerombolan remaja yang kecewa memutuskan untuk pulang. Kami bertiga memilih tetap bertahan. Tak berapa lama kabut mulai menipis. Kompleks Candi Borobudur pun mulai terlihat. Kecil dan samar dalam samudra kabut. Auranya telihat begitu anggun namun juga penuh magi.

punthuk

Mendadak saya ingat cerita tentang Kapal Borobudur  yang mengarungi samudra. Konon, jauh sebelum pelaut Eropa mengarungi samudra dan Christopher Columbus menemukan benua Amerika, kapal-kapal milik kerajaan Mataram Kuno sudah terlebih dulu berlayar mencapai Tanjung Harapan, Afrika, & Madagascar. Salah satu bukti penguat dari hal tersebut adalah ditemukannya 10 relief kapal di dinding Candi Borobudur. Kemudian salah satu kapal yang terpahat di dinding candi dibuat replikanya dan digunakan untuk mengarungi samudra menyusuri The Cinnamon Route alias jalur kayu manis pada abad 8. Kapal tanpa mesin yang diberi nama Samudraraksa ini selama berbulan-bulan berlayar di lautan lepas dan berhasil merapat di Pelabuhan Tema, Accra, Ghana pada februari 2004.

Borobudur yang mungil ditengah lautan kabut mengingatkan saya pada Kapal Samudraraksa yang kecil, terombang-ambing mengarungi samudra yang luas. Tak jauh beda dengan manusia yang kecil, terombang-ambing mengarungi samudra hidup yang maha luasnya.

Pikiran pun berkelebat. Sepulang dari sini nanti saya harus menemukan relief kapal Samudraraksa itu di Candi Borobudur. Harus! Etapi dia ada di tingkat dan panel nomor berapa ya? Duh, saya lupa.

2
Numpang Nampang (pic: Mas Dhave)
Elisabeth Murni
Elisabeth Murni

Ibu Renjana | Buruh partikelir paruh waktu | Sesekali bepergian dan bertualang.

Articles: 247

3 Comments

  1. halo halo halo… saya juga pernah ke Setumbu, Juli 2012. Waktu itu parkiran mobil masih di deket Masjid. Berangkat jam 3 pagi dr Jogja, nyampe jam setengah lima-an. Habis subuh, dingin2 sambil nahan ngantuk mendaki puncak. Eh sayang, mendung! Hahaha.

    ceritanya bisa dibaca di sini:
    http://mblusuk.com/520-Memotret-Candi-Borobudur-dari-Punthuk-Setumbu.html

    Hahaha, ini saya juga udah 2 kali kesini dan selalu mendung. Sepertinya memang belum berjodoh hehe. Okay segera meluncur ke TKP 😉

  2. Aku lho mba, wacana kesini dr baheula ampe skarang jd lautan manusia blm jd juga. Wkwkwkw eh aku baru tau soal cerita relief kapal itu. *kemana ajaaaa ???

    • diagendakanlah, masuk juli agustus itu bulan bagus buat nyunrise. aku lho 3x kesana blm pernah dapat sunrise cetar.

      kl mau mengulik soal borobudur ada banyak kisah menarik. mulai dr relief karmawibangga yg seronok dan akhirnya ditutup, manohara, kapal samudraraksa, juga yg katanya daerah sekitar borobudur dulunya danau. asyik lah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *