Terkadang, karena terlalu sering berpergian kita jadi melupakan banyak hal di dekat rumah. Kita terlalu silau melihat hal-hal yang indah di luar sana, sehingga apa yang berkilau di sekitar kita menjadi tidak kelihatan. Dan itu yang baru saja terjadi dengan saya.
Tiga tahun terakhir saya jarang sekali pulang ke rumah bapak ibu. Paling sebulan atau dua bulan sekali. Padahal jarak kota tempat saya tinggal sekarang dan tempat saya dilahirkan tak sampai 3 jam naik motor. Termasuk dekat untuk ukuran Jawa. Tapi saya terlalu asyik dengan mengunjungi tempat-tempat baru, bermain-main di kota tetangga, melompat dari satu tempat ke tempat lainnya, sehingga kota sendiri terlupa.
Saya selalu bingung tiap ditanya “Tempat asyik buat main kalo di Wonosobo itu apa ya?” jawaban saya selalu “Dieng”. Ya, karena saya taunya hanya seputaran Dieng. Saat teman saya bertanya lebih lanjut “Selain Dieng apa? Aku udah pernah kesana,” biasanya saya cuma tersenyum simpul dan diam. Karena saya memang benar-benar tidak tau di kota saya ada apa aja. Beda ceritanya jika ada yang tanya “Aku mau ke Jogja, enaknya main kemana ya?” maka saya bisa ngejelasin banyak tempat dari ujung barat sampe timur, dari utara sampai selatan, bahkan sampai tempat yang paling mblusuk sekalipun.
Hingga akhirnya Paskah kemarin saya memilih untuk liburan di rumah. Rencana awal sih saya dan sepupu-sepupu saya plus teman-teman sepupu saya yang datang dari Salatiga mau main ke Dieng (lagi-lagi Dieng) buat lihat sunrise. Rupanya mereka teracuni setelah melihat foto sunrise saya di Sikunir. Tapi emang bener “man proposes, God disposes” meski rencana sudah disusun matang tetap saja ada halangannya yang membuat kami terpaksa membatalkan acara jalan-jalan ceria tersebut.
Daripada cuma nongkrong di rumah sambil nonton TV setelah pulang ibadah, sepupu saya lantas mengusulkan untuk piknik ke air terjun yang letaknya tidak begitu jauh dari rumah. Saya pun lantas mengiyakan. Saya penasaran dengan air terjun yang katanya bagus ini. Duluuuu banget jaman masih SD saya pernah sekali main ke tempat ini, tapi saya sudah lupa. Seingat saya sih dulu air terjunnya biasa-biasa saja. Cuma banyak lintahnya.
Akhirnya kami bersembilan pun berangkat ke air terjun yang berjarak sekitar 15 menit berkendara dengan motor ini. Rupanya akses jalan sudah diperbaiki. Seingat saya dulu jalannya masih berbatu dan jelek. Tapi rupanya motor belum bisa masuk sampai depan air terjun. Setelah membayar retribusi sebesar Rp 2.000 per orang, kami pun melanjutkan perjalanan dengan menyusuri jalan setapak.
Sungai kecil berair jernih, areal persawahan, kebun salak, ladang warga, semua berselang-seling di sisi kanan dan kiri jalan. Nun jauh di bukit nan tinggi nampak jajaran pucuk-pucuk pinus yang melambai tertiup angin sore. Kupu-kupu kuning berterbangan di dan hingga di kuntum bunga-bunga liar. Derik serangga, gemericik air sungai, dan desau angin menemani perjalanan kami. Sesekali suara mesin pemotong kayu terdengar di kejauhan.
Jalan setapak sore ini agak licin, karena beberapa waktu sebelumnya hujan baru saja turun. Kami pun melangkah dengan perlahan. Setelah lima belas menit berjalan, gemuruh air terjun mulai terdengar di kejauhan. Kami mempercepat langkah.
Tanpa terasa kami mulai memasuki areal air terjun yang benar-benar masih alami. Saung-saung yang kurang terurus mulai menyambut kami. Sungai berair jernih dengan aliran yang deras lengkap dengan batu-batu besar seolah-olah memanggil untuk diarungi. “Wah harusnya kita bawa ban ya mbak, ini asyik buat river tubing,” kata Rossy. Saya mengangguk mengiyakan.
Akhirnya air terjun setinggi kurang lebih 80 meter itupun nampak di depan mata. Namun pemandangan yang saya lihat kurang sempurna, sebab ada sebuah batu besar yang ditumbuhi pohon di atasnya. Akar-akar pohon tersebut menjuntai hingga ke tanah, seolah-olah menjadi tirai gerbang pembuka. Kami pun lantas menyibak akar-akar tersebut dan merayap di atas bebatuan yang berlumut menuju air terjun di balik batu. Salah satu sepupu saya, Ayub, malah langsung memanjat akar tersebut dan naik ke atas batu besar.
Setelah melalui sedikit perjuangan, akhirnya kami benar-benar tiba di bawah air terjun yang mengalir dengan deras dan mengeluarkan suara gemuruh tersebut. Air terjun yang dikenal dengan nama Curug Winong ini memiliki karakter yang unik. Air tidak langsung jatuh dari atas tebing menuju bawah, melainkan mengalir mengikuti lekuk batu yang ada di sepanjang tebing. Jika memiliki nyali tinggi, Anda bisa berjalan naik ke atas air terjun lewat dinding batu yang ada. Tapi harus berhati-hati. Sebab dinding batu tersebut sangat licin dan berkubik-kubik air menghujani Anda.
Sepertinya tempat ini sangat bagus digunakan untuk canyoning. Hanya saja semua alat harus disiapkan secara teliti dan matang. Saya perlu tali karnmantel yang panjang dan orang yang mau jadi pembuka jalan untuk mencari pohon besar di atas sana. Ah, sepertinya saya memang harus kembali kesini lagi dan mengajak partner in crime saya untuk gila-gilaan di air terjun ini. Ini mah Srigethuk nggak ada apa-apanya kalo buat canyoning #eh hahaha. Oya, di seberang sungai juga ada tempat lapang buat camping, asyik kan?
Besok-besok kalau ada kawan yang bertanya “Di Wonosobo tempat yang bagus buat main mana?”, saya pasti akan merekomendasikan Curug Winong ini. Janji!
wahh tulisan mu keren lis… terus berkarya…gali lebih luas tentang wonosobo
(K_chank)
Widiiiihhh..
Ya…tetep saja..gda aku,,, 🙁
Mantap jaya, kebetulan gadis saya aslinya ya Wonosobo. Kalau sowan ke rumah camer bisa sekalian mampir kemari, hehehe.
Ini kalau pakai mobil bisa sampai sejauh mana ya? Nuwun.
kerenn…nampak alami..
lokasinya sama kota wonosobo ke arah mana?