Yippie, akhirnya libur Lebaran kemarin untuk pertama kalinya saya mengajak Renjana ke Kawah Sikidang, Dieng. Berkali-kali menyusun rencana, hanya berakhir sebagai wacana. Untunglah jatah libur lebaran Mas Chandra lama, jadi kami bisa meluangkan waktu berkunjung ke tanah para dewa.
Sebagai ibu negara yang memiliki peran penting dalam pengambilan keputusan, saya menetapkan kamis siang sebagai hari keberangkatan. Dan ternyata pilihan saya tidak salah. Hari terakhir puasa jalanan tidak padat dan destinasi wisata pun sepi, sebab orang-orang sudah sibuk mempersiapkan diri menyambut Idul Fitri.
Pada kamis yang lengang, kami pun meninggalkan rumah ibu menuju kawasan Dieng. Dari rumah hingga Dieng kami hanya memerlukan waktu sekitar 1 jam perjalanan. Dugaan saya benar, jalanan sepi. Kemacetan hanya saya jumpai di Pasar Garung dan Pasar Kejajar. Selepas itu motor melaju bebas tanpa hambatan.
Sesampainya di pertigaan yang menjadi pintu masuk ke Dieng kami sempat bimbang, enaknya ke mana dulu ya? Telaga, kawah, atau candi?
Baca: Cerita Pagi dari Telaga warna Dieng
Daripada pusing, lagi-lagi secara sepihak saya memutuskan untuk ke Desa Karangsari lebih dulu. Di desa tersebut ada kerabat yang bisa dijadikan jujugan. Siapa tahu kami bisa menitipkan ransel supaya tidak berat dan mendapatkan jamuan makan siang.
Ternyata rumah kerabat yang kami tuju terkunci rapat. Tidak ada satu orang pun yang terlihat.
“Lagi pada nang kawah”, jelas tetangga belakang rumah. Saya baru tahu, ternyata kerabat kami ini membuka warung tenda di kompleks Kawah Sikidang. Jadi sehari-hari keluarga mereka ada di sana.
Tanpa menunggu lama, kami pun bergegas menuju kawah. Sebelum masuk ke kawasan pintu gerbang saya sudah melepas helm dan masker, serta mengubah aksen dan bahasa serupa warga lokal.
“Harep nemoni Kang Mardi”, begitu jawaban yang saya persiapkan jika ditanya oleh patugas. Ya, saya memilih berbahasa ngoko, sebab sudah berkali-kali saya bercakap dengan kromo inggil terhadap yang lebih tua saat di Dieng ternyata banyak yang tidak paham.
Ternyata saya tak perlu mengeluarkan kemampuan menyaru, di gerbang ada kerabat lain yang sedang menjajakan masker kepada para wisatawan. Gara-gara sapaannya, saya jadi bisa melenggang bebas masuk kompleks Kawah Sikidang. Seharusnya wisatawan membayar Rp 15.000 untuk tiket terusan Candi Arjuna dan Kawah Sikidang. Lumayan ngirit hehe *mentalmakemak.
Saya lupa kapan terakhir kali ke Kawah Sikidang. Tiap kali berkunjung ke Dieng, Kawah Sikidang kerap terlupa. Saya lebih memilih berlarian mengejar kupu-kupu di pinggiran telaga, atau mencadi dandelion di Kompleks Candi Arjuna. Karena itu saya cukup kaget melihat wajah Kawah Sikidang yang berubah.
Baca: Mengejar Halimun di Candi Arjuna
Seingat saya dulu kompleks kawah ini dikelilingi semak dan tidak terlalu luas. Namun, kini semua terlihat begitu terang dan lapang. Warung tenda warna-warni berjejer-jejer hingga jauh. Belum lagi spot-spot foto yang menurut pendapat pribadi saya cukup mengganggu. Kenapa sih sekarang semua tempat berubah menjadi seperti itu?
Daripada tulisan ini berubah menjadi nyiyir, sebaiknya saya bercerita tentang hal-hal yang menyenangkan saja.
Berhubung saya datang di hari terakhir puasa, kondisi Sikidang terbilang biasa. Tidak padat namun juga tidak terlalu sepi. Langit biru cerah, hanya saja kabut datang pergi begitu cepat. 10 menit cerah, 5 menit kemudian kelabu tertutup asap kawah yang terbawa angin, begitu terus.
Dengan semangat saya mengajak Renjana mendekati kawah. Bocah kecil itu berlari-lari girang. Gandengan saya dia kibaskan. Hiks, mamak patah hati dek. Belum juga masuk TK sudah ogah digandeng. Dia memilih lari sendiri dan melompat-lompat di antara batuan belerang. Lagaknya serupa kijang yang lepas dari kandang.
Saat melihat kawah dari dekat kontan dia mengajukan rentetan pertanyaan tanpa henti. Beneran deh, piknik bersama Renjana membuat traveling tidak semudah dulu. Sekarang tiap traveling dengan dia mamak harus belajar dulu, mempersiapkan materi supaya bisa menjawab pertanyaan dia.
Kawah itu apa? Kok airnya ada gelembung-gelembungnya? Kok warna airnya kayak gitu? Belerang itu apa? Kok bau? Kok begini? Kok begitu?
Dooooh, mamak puyeng dek. Dan berhubung dia anaknya titen, saya nggak bisa jawab asal-asalan, karena nantinya bakal diingat terus sama dia. Jawaban harus yang benar dan ilmiah, ngoks. Tapi seru sih. Memaksa saya untuk belajar banyak hal baru. Dan yang pasti hal ini mengembangkan ketrampilan mendongeng saya *tsaaaah.
Kami di Kawah Sikidang cukup lama. Saya biarkan Renjana berkeliling sesukanya, sambil diawasi tentunya. Dia juga kegirangan saat diminta menjadi juru foto ayah dan ibunya yang narsis. Dan hasilnya tidak mengecewakan. Mamak bangga padamu, nak.
Baca: Menakjubkan! Inilah yang Terjadi Saat Balita Memainkan Kamera di Ponsel Ibunya!
Puas menikmati pesona Kawah Sikidang, kami pun menuju ke warung tenda milik Mas Mardi dan adiknya, Mbak Atun. Di sana kami dijamu semanguk bakso yang lezat, tempe kemul, serta segelas teh panas. Bahkan saya juga diberi serbuk belerang yang katanya bisa dibuat masker guna menghaluskan kulit waja. Okesip, saya terima dan akan saya coba.
Satu hal lagi, kami juga dilarang kembali ke Wonosobo dan disuruh menginap di homestay milik Mas Mardi. Yuhuuuu, pucuk dicinta ulam tiba. Dari yang rencananya pengen nginep di Hostel Tani Jiwo, eh malah ditawari penginapan gratisan. Sebagai mamak yang mementingkan prinsip ekonomi jelas saja saya terima tawarannya dengan mantap.
Berhubung hari belum terlalu sore, kami pun pamit dulu guna meluncur ke Telaga Warna dan Telaga Pengilon sebelum nanti kembali lagi ke rumah Mas Mardi di Karangsari. Sampai jumpa Kawah Sikidang. Terima kasih sudah menjadi playground yang menyenangkan untuk Renjana.
Catatan tambahan tentang Kawah Sikidang
- Jika berkunjung ke kawah ini bersama anak-anak, pastikan mereka tetap dalam jangkauan Anda. Jangan biarkan mereka lari-larian sendiri. Kita tak pernah tahu apa yang bisa terjadi, kan? Kawah termasuk area yang rawan dan sedikit berbahaya bagi anak-anak. Hindari kawasan yang mengeluarkan asap!
- Jangan lupa untuk membawa dan mengenakan masker supaya bisa terhindar dari asap belerang.
- Tong sampah di sekitar kawah tidak terlalu banyak. Sebagai wisatawan yang baik, bawalah sampah Anda kembali dan jangan biarkan tempat ini menjadi kotor.
- Tak usah khawatir soal logistik, di tempat ini ada banyak penjual makanan. Harganya pun masuk akal. Cobalah kentang goreng khas Dieng, tempe kemul, atau kue pancong/bandos/rangin yang enak.
- Belilah oleh-oleh atau jajan di warung untuk mendukung perekonomian masyarakat lokal.
Kawan-kawan sendiri pernah ke Kawah Sikidang atau kawah-kawah lainnya belum, nih? Bagi ceritanya dong!
oke sip. besok aku bakal pakai kata kunci Kang Mardi kalau masuk ke Sikidang. hahaha
Nah bener banget mba. sekarang warung tendanya sampai zona inti ya. padahal dulu cuma sebelum pintu masuknya aja. dan makin banyak spot selfienya 🙁
Nyiahahahaha, kata kuncinya Kang Mardi apa Kang Trubus. Sila dicoba.
Iya nih, sedih aku tu lihat gitu-gituan. Merusak pemandangan asli. Etapi wisatawan lainnya malah pada suka. Terus gimana dong?
Aku bilang ponakannya Kang Mardi dapet free nggak ya? hahahaha
Paling enak dingin dingin gitu terus makan bakso hadeeehh~
Silakan dicoba kalau besok ke Dieng 😉
Bakso pake tempe kemul, terus teh panas, nylekamin!
Mungkin biar memudahkan wisatawan mbak. Dulu kalo ga salah masih susah jalan ke arah kawahnya ya. Sekarang sudah diratakan.
Iya, dulu jalannya emang sempit sih. Sekarang jauh lebih mudah dan enak. Tapi ya itu, warungnya sampai ke zona inti.
Aku kepikiran terus sama tempe kemulnya heuheu. Pas baca postingannya mbak Sha yang lamaa juga baca tentang tempe kemul langsung mengganggu pikiran terus hahaha. Aku suka tempe kemulll.
Mbak, contoh spot-spot foto yang mulai agak mengganggu di Sikidang kaya gimana bentuknya?
semacam yang semakin menjamur di Jogja kah? terakhir ke sana sekitar tahun 2014 :’)
Besok kalau main ke rumah kubikinin tempe kemul, ya. Aku nanam daun kucai, jadi tempe kemulnya nanti otentik Wonosobo ahahahahaha.
Iyaa, yang love2 dan bunga-bunga, terus tulisan-tulisan, panggung2 buat foto. Kalau di Pengger itu kan desainnya cihuy yak, kalo ini mah biasa aja sih, dan penempatannya itu lho, nggak asyik banget.
“harep nemoni kang mardi” kurang “nyong” hahahha ben luwih “wanasaba banjarnegara”
Muahahahaha, mashoooook
Pas ke sini juga sempat kecewa dengan spot foto selfie kekinian. Ada juga yang menggunakan burung hantu sebagai daya tarik. Serius malah jadi jelek banget. ??
Nah itu, soal burung hantu, aku sedih lho. Harusnya mereka enak-enak bobok malah suruh cari duit.
ke sini jaman masih smp dan terlihat banyak perubahan
Sangat banyak, Dieng berubah tapi kurang berbenah.
“Lagi pada nang kawah”
wkwkwkwk kok nyong dadi kangen omah ya nek maca kalimat kue…hahahaa
Pintu masuknya sekarang cuman satu, dulu kan ada pintu belakang yang gak usah lewat tiket, wkwkkw
Milih hari liburane cocok, ahaha jadine sepi dan lebih leluasa eksplor 😀
Ahahahaha, sesama wong ngabak wonosobo banjar, ayolah dolan maring ngene.
memang hrs ekstra hati2 ya kalo abwa anak ke kawah. untung banyak makanan. lho?
enggak cuma ke kawah sih, bawa anak kemanapun emang harus ekstra hati-hati hehe
aku juga pernah kesini…baunya belerangnya itu ya mbak….kalau aku dulu beli bunga abadi ^^
Hihi, namanya juga kawah belerang mbak. Beli edelweis ya? Iya tuh banyak dijual disana.
Inget banget beberapa tahun yang lalu main ke kawah sikidang,
terus excited banget bisa jalan-jalan di tengah asep gitu sambil bikin vlog.
Ah kali nonton log pribadi jadi kange kesini lgi
Woho, ngevlog ditengah asap alami ya, bukan asap buatan kaya di pertunjukan-pertunjukan gitu hehehe. Cuma kalau pas anginnya kencang suka nggak kuat aroma asapnya.
Kawah Sikidang ini sakjane punya potensi bahaya gak ya seperti tragedi Sinila dulu? Padahal eksotis 🙂
Entah, Q. Soal itu aku kurang paham. Tapi tetap harus selalu waspada sih.