Matahari tepat di atas ubun-ubun tatkala saya dan rombongan wisatawan asal Manado menjejakkan kaki turun dari bis yang berhenti di parkiran Candi Borobudur. Meski Idul Fitri hari pertama, parkiran Borobudur sudah dipenuhi oleh bis dan kendaraan dengan nomor polisi luar kota.
Saya, yang beberapa waktu lalu dengan songongnya sok pedenya mengiyakan tawaran menjadi guide profesional dari salah satu travel agent yang berkantor di Surabaya (padahal belum pernah sama sekali menjadi guide resmi) langsung mengarahkan 12 tamu menuju pintu masuk. Di sana telah menunggu Mas Tommy (tour leader) yang akan membagikan tiket.
“Sash, tadi aku ditanyain mau pake guide resmi atau enggak. Tapi aku sudah bilang nggak perlu. Kamu bisa ngejelasin tentang Borobudur ke mereka kan? Mereka orangnya kalau nanya detil lho!” kata Mas Tommy sembari berbisik.
Saya hanya menganggukkan kepala sambil nyengir. Ini beneran deh, saya sok-sokan banget. Pengetahuan saya tentang Borobudur minim, tapi sudah gegayaan mau jadi guide dan ngejelasin banyak hal ke para tamu. Tapi tak apalah, bukankah kita harus berani mencoba melakukan hal baru yang keluar dari zona nyaman? Anggap saja saya sedang mendongeng. Cuma bedanya kali ini audiens saya adalah orang tua, level manajer perusahaan besar yang berkantor di Manado sana.
Fiuh, setelah menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya dengan kencang sebagai tanda siap bertarung di medan pertempuran (ini apaan sih hehehe) saya pun mulai ngoceh soal Borobudur.
“Selamat datang di Candi Borobudur! Selamat datang di galeri mahakarya para maestro pahat dunia!” kata saya dengan lantang yang disambut dengan tatapan bingung oleh 12 tamu saya. “Welha, kok galeri maestro pahat dunia?” Jika boleh saya terjemahkan, mungkin itu adalah terjemahan paling tepat dari tatapan mereka. Gimana bukan galeri pahat para maestro? La wong di dinding Candi Borobudur terukir relief berisi ajaran Budha terbesar dan terlengkap di dunia yang jika dijajarkan akan memiliki panjang 6km! Keren kan?
Rupanya kalimat pembuka tersebut menjadi pendingin yang mencairkan suasana. Dari yang awalnya cuek dan terkesan kurang yakin bahwa saya bisa menjadi guide berubah menjadi antusias bertanya banyak hal.
Awalnya, saat saya menjemput di bandara mereka sempat tidak percaya bahwa saya adalah guide yang akan menjadi pemandu wisata mereka selama 4 hari. “Kok guidenya masih muda banget? Yakin nih dia bisa jadi pemandu yang baik yang bisa ngejelasin banyak hal ke kami?” tanya mereka ke Mas Tommy saat pertama kali melihat saya. Dan begitu mas Tommy menyampaikan itu ke saya, saya cuma terkikik geli. Maklum, selama 4 hari mereka tur di Bali yang menjadi guide adalah bapak-bapak sepuh yang sudah berpengalaman. Sedangkan saya cuma bocah kemarin sore yang pecicilan suka jalan-jalan tapi buta tentang dunia guiding.
Sebelum memasuki candi, kami pun diwajibkan memakai sarung batik berwarna biru dengan motif stupa. Ya, sejak Maret 2011, semua wisatawan yang mengunjungi Candi Borobudur dan Candi Prambanan (dan belakangan saya baru tahu Candi Ratu Boko juga) wajib mengenakan sarung batik.
Usai mengenakan sarung, kami pun lantas kembali melangkahkan kaki menuju candi. Mendadak, salah satu anggota rombongan yang juga adalah big bos bertanya kepada saya “Ini kenapa kita harus pake sarung batik segala? Apa fungsinya? Gak ada bedanya toh pakai sarung atau enggak?”. Belum sempat saya menjawab, Bapak X melanjutkan pertanyaanya “Atau cuma ikut-ikutan aja? Berhubung batik lagi ngetren maka disini pun harus pake batik?”
Saya yang saat itu sedang mengumpulkan serpihan ingatan tentang sejarah Candi Borobudur guna saya jelaskan kepada mereka hanya bisa tertegun. Blaik, saya ndak siap dengan pertanyaan mendadak seperti ini. Untungnya saya selintas pernah membaca bahwa program sarungisasi ini maknanya adalah sebagai bentuk penghormatan terhadap banguan religi yang masuk dalam warisan UNESCO ini.
“Mungkin sepintas pemakaian batik terlihat nggak ada gunanya pak. Tapi ini memiliki makna khusus sebagai bentuk penghormatan terhadap candi. Bagaiamana pun, Candi Borobudur bukan obyek wisata biasa melainkan bangunan religi yang masih digunakan oleh umat Budha untuk beribadah. Sedangkan kenapa sarungnya harus batik, ya karena batik memang budaya kita pak. Masak mau pakek kain lain? Itung-itung mempromosikan batik.”
Sepanjang perjalanan mengantarkan tamu pradaksina keliling candi, saya memikiran pertanyaan bapak tadi (iya pradaksina, setelah mereka dengar cerita saya soal penganut Budha yang melakukan pradaksina alias berjalan mengitari cadi 1 level baru naik level berikutnya, keliling lagi, naik lagi, dan berulang-ulang hingga tiba di level atas, mereka meminta untuk melakukan itu, gempor dah kaki).
Mungkin bukan hanya Pak X yang memilki pikiran itu. Kenapa sih harus ribet memakai sarung segala? Gak ada fungsinya juga. Nah jawaban saya sama seperti jawaban saya buat Pak X. Lagipula apa sih susahnya memakai sarung? Kalian bisa tetep kece kok dengan sarung batik itu. Tambah kece malah hehehe.
Saya pikir mematuhi peraturan yang tertulis di tempat yang kita kunjungi adalah salah satu etika yang harus dipegang teguh oleh pejalan. Itu adalah bagian dari penghormatan kita terhadap situs budaya, tradisi, dan peraturan lokal. Kalau ada tulisan “dilarang naik” atau “dilarang memanjat” ya jangan menaiki stupa dong. Mungkin kelihataanya sepele “Apaan sih gak boleh naik di atas stupa? Gak boleh memanjat dinding candi? Kan nggak ngefek apa-apa” Eitttts, kata siapa itu nggak ngefek apa-apa?
Mari kita berfikir, kalau ada 1 orang yang naik ke atas stupa atau memanjat dinding candi pasti akan ada banyak orang yang melakukan hal yang sama. Nah, jika hal itu dilakukan terus menerus maka pasti akan terjadi kerusakan yang signifikan terhadap konstruksi candi yang sudah berusia ratusan tahun. Jika warisan budaya itu sudah rusak, apalagi yang kita miliki? Jadi taatilah peraturan yang ada meski kelihatannya sepele. Saat pihak yang berwenang terus membenahi lokasi candi guna melakukan pemugaran, yang bisa kita lakukan adalah bersama-sama membangun kesadaran etika untuk mematuhi peraturan yang ada.
“Katanya kalau kita masukkan tangan dan pegang kakinya Budha yang ada di dalam stupa bakal beroleh keberuntungan ya?” tanya bapak-bapak yang lain saat kami menjejak di kompleks Arupadatu.
“Itu cuma mitos pak,”
“Stupa yang mana sih? Saya pengen coba”
“Waduh, jangan pak. Kalau kita mau pegang, mau tidak mau kita harus naik ke atas stupa, dan di sini peraturannya tidak boleh naik ke atas stupa. Bisa merusak konstruksi. Cukup foto-foto aja pak.”
“Oh gitu ya? Baiklah.”
Saat bapak itu berlalu mendadak Mas Tommy njawil saya.
“Aku berulang kali bawa tamu kesini Sha, dan baru kamu guide yang nggak ngebolehin tamunya masukin tangan ke dalan stupa. Biasanya malah menyarankan itu. Baru kamu juga yang cerita soal kapal samudraraksa dan ngajakin tamu Pradaksina.”
“Welha mas, kandani kok. Saya kan cuma guide abal-abal yang sok-sokan paham etika pejalan dan mematuhi peraturan hehehe”
Jadi kawan, pernahkan kalian Pradaksina di Candi Borobudur di siang terik? Pernahkah kalian menghitung berapa jumlah relief kapal yang ada di dinding candi? Pernahkah kalian dilarang untuk memasukkan tangan ke dalam stupa? Kalau belum, kalian harus ke Borobudur bareng saya hihihi.
keren tulisannya..
Saya setuju sama batikisasi saat masuk area candi. Itu tempat sakral buat penganut Budha, dan karena letaknya di Jogja.. gak ada salahnya kalo kain yg dipakai juga batik.
Sama kayak kita berkunjung ke pura di Bali.
beluuumm… saya malah ngodok2 itu stupa…
Desember aku balik lagi ke Jogja Sash.. pengen ah jalan2 sama sash 🙂
Akuuu wiss suuuwwiii banget ra neng borobudur….pengen due foto stupa juga ik….
Asyik, emang harus ada pemandu yang punya idealisme kayak Mbak Sash, meski abal-abal, hehe. 😉
wah terimakasih mba tulisannya. Kebetulan besok tanggal 1 mei nanti saya mau ke sana. jd ad gmbaran nih gmna nanti pas di candi borobudur. pasti seru. Doakan semoga lancar ya 🙂