Semarang dan Hal-hal yang Membuatnya Selalu Terkenang

Jika harus menyebutkan traveling yang berkesan, tentu saja saya akan memasukkan Semarang dalam daftar. Bagaimana bisa lupa, jika di tempat itu saya pernah melakukan hal-hal seru seperti mencoba ciam si di Sam Poo Kong, ketakutan di penjara bawah tanah Lawang Sewu, hingga tanpa sengaja menginap di hotel esek-esek. Setelah terendap selama 9 tahun, kini saya akan mengisahkannya pada kawan-kawan semua.

Kisah ini bermula dari penugasan saya dan mas fotografer untuk liputan di Semarang. Tugas kami sebenarnya mudah dan menyenangkan. Selama 5 hari kami harus menginap di hotel Semarang, mengunjungi tempat-tempat wisata, menikmati kuliner yang ada, memotret, kemudian menuliskannya. Yang membuat sedikit tertekan hanya tuntutan dari pimpinan. Tapi itu tak mengapa.

Setelah berkendara sekitar 3 jam dari Jogja, kami berdua tiba di Semarang pada siang yang cukup cerah. Matahari bersinar sangat terik, membuat batok kepala mau pecah. Apalagi di tambah udara Semarang yang gerah dan jalanan yang semrawut, rasanya ingin mengumpat saja.

Untungnya kami bertemu warung sederhana yang menyajikan garang asem. Mulut yang tadinya ingin mengeluh langsung sibuk mengunyah. Dari kedai garang asem, kami melanjutkan perjalanan menuju Klenteng Sam Poo Kong.

Ciam Si di Klenteng Sam Poo Kong

Kala itu area wisata klenteng masih dalam tahap renovasi. Patung Laksmana Cheng Ho setinggi 12,7 m itu baru saja tiba dari China dan masih terbungkus kain. Pupus sudah harapan mendapatkan gambar cantik Klenteng lengkap dengan Sang Laksmana.

Karena tidak ada yang menarik di area luar, kami pun memutuskan untuk masuk ke dalam area sembahyang. Bermodalkan sebungkus hio, saya dan mas fotografer masuk area dengan penuh percaya diri.

“Tiket?” tanya sang penjaga.

“Mau sembahyang, koh,” jawab saya sambil menunjukkan hio yang saya beli di kios depan.

“Dia juga?” tanyanya lagi sambil menujuk kawan saya.

“Iya, kami mau berdoa supaya enteng jodoh,” jawab saya asal.

Dengan tatapan curiga penjaga tadi pun mempersilahkan kami masuk tanpa harus membayar tiket tambahan. Saya terkikik geli.

“Kenapa nggak beli tiket aja sih, Sha?” tanya mas fotografer sambil geleng-geleng.

“Lho, aku kan mau ciam si. Jadi gausah pake tiket.”

“Kamu beneran mau ciam si?  Bukannya kamu nggak percaya ginian, ya?”

“Haha, cuma ngobatin penasaran aja. Sekalian bisa buat bahan tulisan.”

Lagi-lagi kawan saya hanya bisa menggeleng. Sepertinya dia sudah hafal dengan kelakuan saya. Bergegas saya menemui juru kunci yang juga dikenal dengan nama Biokong. Ciam si sendiri merupakan tradisi kuno yang bertujuan untuk meramal atau mencari peruntungan.

“Mau tanya soal apa?” tanya si juru kunci tanpa aba-aba. Saya yang sedari awal hanya penasaran dan tidak punya pertanyaan akhirnya menjawab asal.

“Jodoh, koh”

“Lho, bukan dia?” tanyanya kepo sambil menolehkan wajah ke arah mas fotografer yang sedang asyik memotret ornamen kelenteng.

“Bukan, koh. Dia cuma teman kerja”

“Oooh. Sini, sebut nama, umur, tinggal di mana”

“Sasha, 22, Jogja”

“Bukan nama kamu, tapi nama yang kamu suka”

“Owalah ahahaha. Chandra, 27, Jogja”

Dia lantas mengajak saya masuk ke dalam ceruk sempit serupa gua dengan altar pemujaan di bagian dalam. Kemudian saya diberi dua bilah kayu berbentuk bulan setengah yang disebut siao poe. Saya harus menepuk kayu itu berkali-kali dan mengambil bilah bambu yang berisikan angka. Sesudahnya saya diajak keluar dan memasang hio yang saya bawa.

Sambil duduk di lantai kelenteng, juru kunci tersebut melihat nomor bambu yang saya ambil dan menghela napas dalam-dalam.

“Kamu nggak jodoh sama dia. Sudah, pisahan aja”

Eh enak aja pisahan, seru saya dalam hati. Udah pacaran lama, sempat LDR Jogja-Aceh, masih sayang kok suruh pisahan. Tapi sebagai bentuk kesopanan saya hanya nyengir sambil berucap terima kasih dan menjejalkan amplop berisi uang ke tangannya. Sedangkan mas fotografer terkikik geli dari kejauhan. Amsyooong!

Menyusuri Penjara Bawah Tanah Lawang Sewu

Hari selanjutnya kami mengunjungi bangunan yang sangat ikonik dan juga populer di Semarang, apalagi kalau bukan Lawang Sewu. Terletak di bundaran Tugu Muda, bagunan ini mencuri perhatian dengan deretan jendela dan pintu-pintunya.

Lagi-lagi kami datang di saat yang tidak tepat. Lawang Sewu masih dalam tahap renovasi sehingga kami tidak bisa mengeksplorasi seluruh bangunan. Merasa bosan karena hanya bisa mengelilingi sebagian kecil yang gitu-gitu-aja, mas fotografer mengeluarkan ide menyebalkan.

“Pak, kita bisa masuk ke penjara bawah tanahnya nggah sih?” tanyanya pada guide yang dari tadi mengantarkan kami berkeliling.

“Bisa kok, mas. Cuma nanti ada biaya tambahan. Masnya mau coba?”

“Mau pak”

“Eh nggak pak, makasih. Ini teman saya suka aneh-aneh emang” saya menimpali dengan cepat. Tapi rupanya mas fotografer tak peduli jawaban saya. Dia justru sibuk bertanya-tanya soal apa saja yang menarik di dalam. Kzl.

“Sha, masuk yuk. Seru nih keliling di bawah. Kalau siang nggak serem kok,”

“Ogah. Gak masuk budget,” jawab saya yang juga ditunjuk sebagai menteri keuangan.

“Yaudah kita potong budget buat hotel. Nanti kita nginep di penginapan biasa aja. Biar nggak over budget. Tapi sebagai gantinya kita masuk ke dalam, ya? Mumpung udah sampai sini nih. Kapan lagi, kan?” rayunya. Dengan berat hati saya pun mengiyakan tawarannya.

Lalu inilah kami. Berdiri di ruangan gelap, lembab, dan spooky. Tak ada cahaya penerang selain senter yang kami pegang. Demi keamanan, kami dipinjami sepatu boot. Sebab di beberapa bagian terdapat genangan air. Semoga nggak ada ulaaaar, rapal saya dalam hati.

Kami bertiga berjalan tercepuk-cepuk menyurusi lorong demi lorong. Guide di depan, saya di tengah, dan mas fotografer di belakang. Sepanjang perjalanan guide menjelaskan tentang sejarah tempat itu dan kengerian apa saja yang terjadi di sana. Tentu saja bulu kuduk saya meremang. Asyem! Kok ya mau-maunya saya diajak masuk ke sini.

“Ini yang buat syuting Dunia Lain di sebelah mana, pak?” tanya mas fotografer tiba-tiba. Duh, kampret emang bocah satu ini. Dia nggak paham apa ya kalau saya anaknya penakut abis.

“Depan situ mas, sebentar lagi sampai”

Saya makin ngeri. Saat itu sekitar pukul 3 sore. Tapi suasananya seperti tengah malam. Udara terasa pengap dan panas. Seolah-olah ada yang menekan dan membuat berat untuk bernapas. Nggak beres ini, kata saya dalam hati.

Nderek langkung, mbah” ujar pemandu tiba-tiba. Saya pun mengikutinya. Sebab sejak awal pemandu sudah bilang bahwa tiap dia bilang “nderek langsung” atau “kulonuwun” kami harus menirukannya. Mendadak suasana menjadi gelap total. Lampu senter mati.

Saya panik. Cepat-cepat saya raih tangan yang terdekat, lantas saya pegang erat. Saya pun menutup mata rapat-rapat. Daripada melihat penampakan, mending saya tutup mata saja. Beberapa detik kemudian saya merasa ada kilatan cahaya. Perlahan saya buka mata, dan kedua lelaki tersebut tersenyum jahil. Rupanya mereka mengerjai saya. Asyeeeeem. Tiwas kene wis gemeteran!

Menginap Semalam di  Hotel Esek-Esek

Selama di Semarang tiap hari kami berpindah penginapan. Berhubung hari minggu saya berencana ibadah di Gereja Blenduk, maka kami memutuskan untuk mencari penginapan yang tak jauh dari kawasan Kota Lama.

Hari sabtu itu liputan kami cukup padat. Badan rasanya capek sekali. Tak jauh dari Jembatan Berok kami melihat ada plang nama Hotel XX (nama penginapan disamarkan). Melihat dari tampilan luarnya sebenarnya sudah agak meragukan. Tapi berhubung tubuh sudah lelah dan ingin segera mandi serta beristirahat saya memutuskan untuk tetap masuk dan reservasi.

“2 kamar ya, mbak?” kata saya pada resepsionis hotel. Perempuan yang masih cukup muda itu menatap saya dengan sedikit heran.

“Enggak sekamar?” tanyanya memastikan. Saya menggeleng. Sedang mas fotografer terlihat mengamati sekitar dengan saksama. Saya pun diberi dua kunci dan ditunjukkan arah menuju kamar.

Saat memasuki lorong dan naik ke lantai atas saya melihat suasana cukup ramai. Ada banyak muda-mudi yang sepertinya juga hendak check in. Namun anehnya, rata-rata perempuannya memakai helm. Ngapain juga cobak pakai helm di dalam ruangan?

Malam itu saya tak bisa tidur dengan nyenyak. Saya tidak nyaman. Kamar yang saya pergunakan terasa kumuh. Di malam hari terdengar suara yang cukup gaduh yang entah dari mana asalnya. Dan yang paling mengejutkan, ternyata di jendela kamar mandi terdapat celana dalam. Iya, saya nggak salah bilang. Ada celana dalam nyangkut. Kamvret!

Keesokan paginya, saat kami check out saya ngobrol dengan Mas Fotografer soal hal-hal aneh semalam sekaligus penemuan saya di kamar mandi. Dia langsung tertawa keras sekali.

“Sha, kamu beneran nggak paham ya?”

“Paham apaan sih?”

“Hotel yang kita tinggal semalam tu hotel  esek-esek kali”

“Hah? Emang iya?”

“Sejak pertama sampai sana aku sudah curiga aja. Terus makin yakin saat banyak cewek yang masuk tapi pake helm. Terus ramai gitu pas malam. Mosok kamu nggak ngerti sih? Kemarin aja saat kita minta dua kamar mbaknya kayak nggak yakin gitu to? Dia mikirnya kita pasangan mesum juga mesti”

“Whaaaat?” sempruuuuul, saat itu juga saya misuh-misuh. Menyesal mengapa jadi orang yang terlalu polos.

——

Akhir Maret lalu harusnya saya melancong ke Semarang. Ada sahabat adik saya yang hendak melangsungkan pernikahan. Rencananya, saya akan menginap beberapa hari. Selain untuk menghadiri pemberkatan pernikahannya, saya juga berencana untuk menyusuri jejak kenangan #uwuwuwuw.

Dulu, saya puas keliling Semarang dalam rangka bekerja. Kali ini saya ingin keliling Semarang dalam rangka berwisata. Yang piknik sebenar-benarnya, tanpa ada tugas yang harus diselesaikan sesudahnya.

Saya sudah membayangkan akan menghabiskan hari dengan mengajak Renjana lari-lari di halaman Sam Poo Kong. Setelah itu, menyusuri gang-gang Pecinan dan makan lumpia di Gang Lombok. Sore hari akan nongkrong di deretan café-café yang ada di Bukit Gombel sambil lihat kapal bersandar dari kejauhan. Malamnya lanjut hunting jajanan enak di Pasar Semawis.

Minggunya jalan-jalan ke Kota Lama dan ikut ibadah di Gereja Blenduk. Kemudian, jajan Sate Buntel yang ada di depan gereja atau mampir ke Spiegel Bar & Bistro. Berhubung Renjana suka es krim, saya akan mengajaknya mampir ke Toko Oen untuk mencicip Rhum Raisin. Sambil berkeliling tentunya saya akan bercerita padanya tentang masa muda simboknya.

Untuk urusan menginap, saya tidak ingin mengulang kejadian bodoh di masa lalu. Berhubung kali ini piknik keluarga, saya akan memastikan memesan hotel jauh-jauh hari. Saaat ini ada situs booking hotel semacam RedDoorz yang memudahkan saya dalam memesan hotel murah di Semarang.

Dengan mengandalkan booking hotel melalui RedDoorz, saya tak perlu takut akan mendapatkan hotel yang zonk. Sebab semua hotel yang masuk dalam jaringan RedDoorz jelas kualitasnya dan memiliki standar tersendiri. Apalagi di RedDoorz juga ada banyak diskon spesial.

Sayangnya, sebelum jalan-jalan ke Semarang kesampaian pandemi buru-buru datang. Semua acara harus dibatalkan. Bahkan, pernikahan kawan saya pun terpaksa ditunda hingga Agustus mendatang. Sedih sih. Tapi ya mau gimana lagi, semua demi kebaikan bersama.

Kelak, jika pandemi sudah mereda, saya akan merealisasikan rencana jalan-jalan yang tertunda. Pokoknya saya harus balik lagi ke Semarang bersama Renjana dan ayahnya. Napak tilas jejak masa lalu demi menuntaskan rindu.

Kalau kawan-kawan sendiri, setelah pandemi usai ingin jalan-jalan ke mana?

Jogja, 31 Mei 2020
Ditulis di kala gerimis yang bikin melo.

Berhubung foto-foto perjalanan 9 tahun lalu lenyap maka ilustrasi meminjam foto koleksi Alan Catatan Si Nobi

Elisabeth Murni
Elisabeth Murni

Ibu Renjana | Buruh partikelir paruh waktu | Sesekali bepergian dan bertualang.

Articles: 248

18 Comments

  1. semarang juga jadi destinasi wisata favorit mbak.
    awalnya aku nggak begitu tertarik sama semarang. bagiku semarang itu asing. bahkan menurutku jawa tengah lebih identik dengan solo ketimbang semarang.
    tapi sejak pertama main ke semarang, eh ternyata kece banget dan bikin pengen ke sini lagi.

    kebetulan aku juga masih ada stok cerita keliling kota lama dan jadi pengen nulis soal itu, kalo masih inget tapi ahaha

    • Sama pun. Awalnya aku underestimate sama Semarang. Panas, semrawut, berisik. Tapi setelah keliling-keliling kok lumayan menyenangkan juga. Apalagi banyak makanan enak. Sayang belum sempat explore lagi. Tiap kesana pasti cuma singgah apa nginep semalam doang urusan keluarga.

      Ayo ditulis, Gallant. Nanti aku baca.

    • Ohiyaaa maerakaca. Dulu saat aku masih SMP sempat ke sana tapi lupa-lupa ingat. Masih eksis toh ternyata si Maerakaca ini. Dia yang deketan sama Pantai Marina bukan sih? Lupa-lupa ingat aku.

  2. Awalnya ak g begitu suka semarang, panas bgt. Seiring berjalannya waktu jadi tempat transit menyenangkan sebelum kembali ke Jakarta.

    Aku pun pernah merasakan nginep dipenginapan begituan.. sadar pas udah masuk hahha

    • iya, kalau buat dikunjungi sesekali semarang menarik. tapi kalau stay di sana dalam jangka waktu lama ogah banget dah. wealah jebul podo wae yo, Lan. lucu tapi kalo ingat momen-momen kek gitu ya.

  3. Terakhir ke Semarang uda ratusan tahun lalu ahaha, bareng Mak Injul, Aqied, Pink, dan Aji. Kayaknya nginep juga di daerah lokalisasi hahahaha. Betewe pas ke pecinan di Jakarta dulu ngajak temen ke kelenteng, doi minta ciam si dan kata penjaga dewanya nggak mau meramal setelah tiga kali lembar batu yang semuanya pertanda penolakan hahaha.

  4. aku gak suka Semarang, eh tapi itu dulu sih,, ke sana terakhir awal 2000an, lagian gak ke mana-mana dan belum tahu apa, belum suka jalan2 dan cuma urusan ke wisudaan kakak,, haha..

    serem bgt itu yg di lorong penjara bawah tanah,, aku juga penakut soalnya wkwk..

    -traveler paruh waktu

    • serem pol, suasananya suram dan menyedihkan. semarang kalau cuma sepintas memang terkesan nggak menyenangkan, tetapi kalau mau menelusuri ternyata seru lho. kota bandar internasional yang berjaya pada masanya, pintu gerbang masuk peradaban.

  5. Wahahaha duh jadi penasaran pingin coba inap di hotel esek esek, denger ngikngukngiknguk dari kamar sebelah, terus gangguin pake ketok ketok pintunya ahahaha.

    Duh sungguh kangen ke Semarang. Dari kecil sudah sering mampir pas perjalanan mudik, tapi sampe sekarang gak pernah (dan gak mau) ke Lawang Sewu wkwk. Emoh serem atuuut!

    • Gosah kak ahahaahha, gak enak rasanya.
      Ku juga kangen ke Semarang nih. Kangen kulinernya yang enak-enak.
      Btw Lawang Sewu kalau cuma di bagian atas dan siang hari seru kok. Sekarang kesan seremnya sudah mulai luntur. Rame juga sama wisatawan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *