Kinahrejo, Harmoni Kehidupan di Lereng Merapi

Gelap masih melingkupi semesta tatkala rombongan warga mulai berdatangan ke petilasan rumah Almarhum Mbah Maridjan. Jauh di angkasa, temaram kartika masih nampak jelas menghiasi langit yang pekat. Orang-orang yang sudah menginap di Kinahrejo sejak malam sebelumnya perlahan mulai melangkah menuju Srimanganti.

Dinginnya udara lereng Merapi di pagi itu bukanlah penghalang yang berarti. Keinginan mengikuti prosesi Labuhan menjadi alasan yang kuat untuk terus melangkahkan kaki sekitar 1,5 jam hingga tiba di Srimanganti yang merupakan lokasi Labuhan Merapi. Begitu rombongan kirab tiba di lokasi, prosesi Labuhan pun dimulai oleh juru kunci Merapi, Mas Lurah Surakso Sihono yang merupakan putra almarhum Mbah Maridjan.

Dalam kosmologi Jawa, Gunung Merapi dipercayai memiliki hubungan yang sangat erat dengan Laut Selatan (Pantai Prangtritis) dan Keraton Yogyakarta. Jika Pantai Selatan melambangkan air, Gunung Merapi melambangkan api, maka Keraton Yogyakarta menjadi penyeimbangnya. Trio kosmos tersebut memiliki kesakralan tersendiri sehingga tiap tahun selalu digelar ritual di tiga tempat tersebut.

Upacara Labuhan Merapi dilakukan sebagai ajang untuk memohon restu kepada penguasa Gunung Merapi agar melindungi dan memberi keselamatan kepada Keraton Yogyakarta beserta semua penghuninya. Selain itu, Labuhan juga menjadi bukti ikatan yang kuat antara masyarakat lereng Merapi dengan alam tempatnya hidup. Ikatan kuat itu juga ditunjukkan oleh Mbah Maridjan dan puluhan Warga Desa Kinahrejo.

Selasa sore yang kelabu, 26 Oktober 2010. Sinar mentari sudah mulai lindap. Gunung Merapi yang sedang bergolak mulai menunjukkan tanda-tanda bahaya. Mbah Maridjan, juru kunci Merapi kala itu, tak menghiraukan perintah dari pemerintah untuk meninggalkan desanya. Dengan setia, dia tetap bertahan di Kinahrejo untuk “menjaga anaknya” yang sedang marah. Akibatnya, Mbah Maridjan bersama 32 warga Kinahrejo yang memilih bertahan dan tidak mau dievakuasi menjadi korban awan panas atau yang kerap disebut dengan nama wedhus gembel.

Erupsi 2010 yang menjadi erupsi terbesar Merapi dalam 100 tahun terakhir tersebut juga meluluhlantakkan desa-desa di sekitar Lerang Merapi. Kawasan yang dulunya ijo royo-royo gemah ripah loh jinawi dalam sekejap berubah menjadi lautan material vulkanik. Tanaman hancur, rumah-rumah roboh, hewan ternak mati. Seolah tak ada lagi masa depan yang tersisa.

Namun bukanlah warga kerajaan gunung api jika tak siap menghadapi bencana itu. Harta benda boleh habis, hewan ternak semua mati, bahkan tak jarang banyak kerabat yang meninggal tapi dua hal yang tak boleh hilang, semangat serta harapan. Dengan segala keterbatasan yang ada, warga Kinahrejo dan sekitarnya mulai mengumpulkan puing-puing yang berserakan dan menata hidup yang baru. Tak ada sesuatu yang terlalu hancur untuk dipulihkan. Selalu ada cerah sehabis badai. Selalu ada hikmah di balik tiap musibah.

Dahsyatnya erupsi Merapi 2010 lalu selain menimbulkan dampak yang merusak juga memberi dampak positif. Merapi membanjiri wilayah “kekuasaannya” dengan sumber daya alam yang memutar roda perekonomian masyarakat. Merapi menjadi sandaran bagi masyarakat yang minum dari mata airnya, menambang pasir dan batuannya, memanen dari kesuburan tanahnya, serta menjual pesona keindahan alam dan eksotisme budayanya.

Dulu, sebelum erupsi Merapi 2010, saya hanya mengenal Kinahrejo sebagai desa tempat tinggal Mbah Maridjan dan basecamp teman-teman pecinta alam. Tak jauh dari Kinahrejo terdapat obyek wisata alam Kaliadem dan Bebeng yang terkenal dengan bunker dan watu gajahnya.  Namun kini keadaan telah jauh berubah. Usai erupsi 2010, Desa Kinahrejo yang semula hancur lebur telah bersolek menjadi salah satu destinasi wisata unggulan di Yogyakarta yang tidak hanya didatangi oleh wisatawan lokal, melainkan wisatawan mancanegara. Merapi Volcano Tour menjadi atraksi utama yang ditawarkan.

bebeng
Bebeng, Sebelum dan Sesudah Erupsi 2010

Tanggal 17 Agustus lalu, saya kembali menyambangi Agrowisata Kinahrejo untuk kesekian kalinya. Jika dulu kami mengunjungi Kinahrejo dengan berjalan kaki dari Kaliurang menembus hutan, melewati Watu Kemloso, dan Kalikuning maka kini kami mencapai Kinahrejo dengan mengendarai sepeda motor.

IMG_7119
Perempuan Tangguh Penjual Bunga

Pagi itu areal parkir kendaraan terlihat begitu hidup. Para pedagang sibuk menawarkan barang dagangannya dari lapak masing-masing, mulai dari kaos bertuliskan “Lava Tour Merapi”, foto-foto erupsi, jadah tempe, wedang ronde, bunga edelweis jawa, hingga cobek dan ulekan dari batu vulkanik. Motor trail berderet-deret siap mengangkut wisatawan untuk berkendara menyusuri medan sulit, jeep willys dengan sopir yang mengenakan masker dan helm tempur juga nampak parkir dengan rapi. Beberapa diantaranya sudah dipenuhi penumpang yang hendak melakukan off road.

Mendadak saya teringat pengalaman beberapa waktu lalu saat mengikuti paket Merapi Lava Tour dengan naik jeep willys dari Tlaga Putri Kaliurang. Kala itu saya dan kawan-kawan memilih rute standar alias rute pendek yang melewati Kali Opak – Dusun Tangkisan – Dusun Petung – Batu Alien – Kali Gendol – Kaliadem – Gumuk Petung. Selama perjalanan, kami disuguhi landskap alam yang menarik. Di sisi utara terlihat Merapi yang tegak menjulang dengan tudung kabut, sedangkan di sisi selatan terhampar Kota Yogyakarta dan deretan Pegunungan Sewu.

lava tour
Merapi Volcano Tour dengan Jeep Willys

Petualangan menjadi semakin menarik kala mulai memasuki medan berupa hamparan material vulkanik. Pasir dan debur berterbangan seirama dengan lajunya tancapan gas pengemudi jeep. Untung kami dibekali dengan masker dan helm. Di beberapa tempat jeep berhenti untuk memberi waktu kepada kami yang ingin mengabadikan gambar.

Salah satu pemberhentian yang cukup menyita perhatian adalah Museum Sisa Hartaku. Sesuai dengan namanya, Sisa Hartaku, museum yang bertempat di reruntuhan rumah sisa erupsi itu menampilkan berbagai barang sisa erupsi Merapi seperti kerangka sapi, gelas dan botol yang meleleh, sisa gamelan, serta berbagai perabotan. Selain itu ada juga batu alien yang berukuran sangat besar.

sisa
Museum Sisa Hartaku

Kali ini, saya tak ingin melakukan lava tour dengan naik jeep maupun motor trail. Kami ingin mencoba hal baru, yakni berjalan kaki mengikuti jalan aspal dari tempat parkir ke Kinahrejo, menyeberang lautan pasir, lantas melanjutkan ke Bebeng.

Perlahan, kami mulai menapakkan kaki menyusuri jalanan yang terus menanjak. Sepanjang jalan kami bertemu dengan banyak wisatawan asing yang ingin menikmati keindahan Lereng Merapi. Mereka semua terlihat antusias dan bersemangat. Saya pun tak mau kalah.

IMG_7216
Wisatawan Mancanegara Pun Mengunjungi Kinahrejo

Sesampainya di Kinahrejo, kami berdua disambut dengan ucapan selamat datang yang terpasang di gapura. Dulu, di samping gapura tersebut adalah rumah Mbah Udi (adik Mbah Maridjan) dan sering menjadi tempat nonkrong sahabat saya. Kini rumah tersebut sudah tidak ada, berganti dengan warung yang menjajakan makanan dan aneka cinderamata.

Dari gapura saya melangkah menuju Masjid Al Amin yang dibangun di atas reruntuhan masjid sebelumnya. Di sebelah Masjid Al Amin terdapat Taman Kinahrejo yang sayangnya sudah tidak terurus. Sepintas saya melihat beberapa bunga dahlia yang mekar. Kemudian kami menuju petilasan rumah Mbah Maridjan yang kini dijadikan semacam museum tempat memamerkan beberapa benda sisa erupsi seperti kerangka mobil, motor, dan sisa gamelan. Di tempat tersebut juga terdapat tetenger tempat meninggalnya Mbah Maridjan.

kinah
Kondisi Kinahrejo Saat Ini

Usai mengeksplor daerah tersebut, kami berdua melanjutkan perjalanan menuju lautan pasir Kali Opak. Batu-batu berukuran besar nampak bergelimpangan. Jika langit cerah, dari tempat ini kita bisa menyaksikan puncak Merapi yang kerap mengeluarkan asap. Jarak tempat ini dengan puncak Merapi hanya 4,5 km. Tapi kami termasuk kurang beruntung, siang itu Merapi tertutup mendung kelabu.

Selanjutnya kami hendak melanjutkan perjalanan menuju Bebeng. Sayangnya jurang yang lumayan dalam terbentang di hadapan kami. Seorang kawan asal Australia nekat menuruni jurang itu. Awalnya saya pikir dia datang mengendarai trail sebab sedari tadi dia memegang helm. Rupanya dia berjalan kaki dan berujar bahwa helm itu hendak dipakainya saat melewati medan curam, sehingga jika dia jatuh maka kepalanya akan aman. Saya hanya terkikik geli mendengar penjelasannya.

Berhubung kami tidak senekat kawan yang membawa helm tadi, maka kami memilih untuk berbalik arah. Sebagai penutup dari perjalanan singkat ke Kinahrejo ini kami mampir ke warung salah satu anaknya Mbah Udi dan memesan salah satu kuliner khas Kinahrejo, Wedang Gedang.

Sesaat sebelum pulang, saya sempat melihat tulisan “Kinah Bali Rejo” di petilasan rumah Mbah Maridjan.  Ya, erupsi Merapi memang telah meluluh lantakkan Desa Kinahrejo namun efek samping dari erupsi itu pulalah yang akan kembali menyuburkan tanah Kinahrejo. Kinah akan kembali rejo alias makmur seperti sediakala. Kuncinya adalah pada semangat dan harapan untuk terus membangun desa tercinta.

Perjalanan singkat saya ke Kinahrejo telah mengajarkan banyak hal bahwa manusia tidak boleh menyerah kepada keadaan. Manusia dan alam adalah dua hal yang saling memerlukan dan harus menjaga satu sama lain. Kinahrejo adalah potret yang sempurna, harmonisasi yang indah antara manusia dan semesta.

Traveller Notes:
–  Untuk memasuki kawasan wisata Kinahrejo, tiap orang wajib membayar biaya retribusi sebesar Rp 3.000.
– Tarif lava tour menggunakan jeep willys: Rute pendek Rp 250.000, rute sedang Rp 350.000, rute panjang Rp 450.000, paket sunrise Rp 300.000
– Tarif lava tour menggunakan motor trail: Rute pendek Rp 50.000, rute sedang Rp 150.000, rute panjang Rp 250.000.
– Tarif ojek dari parkiran menuju Desa Kinahrejo Rp 20.000

Sumber Bacaan:
Ekspedis KOMPAS “Hidup Mati di Negeri Cincin Api”

Elisabeth Murni
Elisabeth Murni

Ibu Renjana | Buruh partikelir paruh waktu | Sesekali bepergian dan bertualang.

Articles: 248

5 Comments

  1. Fyuh.. panjang banget, Mbak. Hehe. Aku suka banget sama paragraf awalnya, bahasa novel banget 🙂

    Semoga menang buat lombanya. Gue juga ikutan sih, tapi tulisan gue nggak sebagus mbak karena gue belum pernah ke Kinahrejo langsung, jadi cuma tempel-tempel artikel dari internet :))

    Hihihihihi, terimakasih sudah mau membaca artikel panjang ini. Awalnya masih semangat merangkai kata, endingnya kehabisan energi jadi seadanya saja hahaha.
    Semoga kamu menang juga ya, biar bisa piknik bareng-bareng. Kan asyik tuh 😉

  2. saya sudah beberapa kali ke Kinahrejo, Kaliadem, dan Kalikuning. sempat juga bertukar cerita dgn penduduk sekitar. pasca erupsi merapi 2010 lalu, ternyata memberikan penghidupan yg cukup bg masyarakat lereng gungung merapi. rata2 setiap rumah punya Jeep utk disewakan.
    salut saya dgn penduduk lereng gunung merapi, cintanya begitu besar kpd tanah merapi. merapi pun di balik keganasannya menyimpan kasih sayang yg tak terkira. 😀

    Seperti yang saya bilang, selalu ada cerah sebagai pengganti badai. Warga lereng Merapi tidak pernah bisa dipisahkan dari akarnya. Meski mereka tahu bahaya mengancam, meski mereka tau Merapi bisa meletus setiap saat mereka memilih tetap bersetia dengan tanah leluhurnya. karena mereka tau, Merapi tidak pernah benar-benar marah 🙂
    Btw terimakasih sudah berkunjung dan berkenan membaca tulisan ini 🙂

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *