Tanpa peduli pada hawa dingin yang menyusup, bocah tiga tahun itu menceburkan dirinya pada aliran sungai yang berhulu di lereng Merapi. Sambil telanjang dada dia berteriak kegirangan dan mencipratkan air sedingin es itu ke segala arah. Minggu pagi itu saya jadikan penanda, bahwa bocah lanang kebanggaan saya telah sah menjadi putra Kali Kuning yang aliran airnya menjadi urat nadi Yogyakarta.
Bagi yang suka membaca legenda Yunani maupun pernah menonton film Troy yang menggambarkan kisah Perang Troya, pastilah familiar dengan nama Achilles. Dia adalah sosok prajurit legendaris yang mati di tangan putra kedua Raja Priam, Paris.
Sejak dulu, Achilles sudah diramalkan akan mati pada perang Trojan. Mati menjadi pahlawan dan selalu dikenang. Guna melawan takdir tersebut, Thetis, ibunya, mencelupkan Achilles ke dalam Sungai Styx supaya dia kebal terhadap semua senjata dan tidak mati di medan perang. Hanya saja saat “membabtis” bayi Achiless di sungai, Thetis memegang tumit sang bayi supaya tidak tenggelam.
Saat dewasa, ramalan itu pun terjadi. Achilles mati setelah senjata Paris mengenai tumitnya yang dulu tidak tersentuh air sungai Styx. Oleh karena itu, hingga saat ini, otot tendon besar di belakang pergelangan kaki yang menghubungkan otot betis ke tulang tumit dikenal dengan nama tendon Achilles. Otot ini merupakan salah satu titik lemah para atlet.
***
Masa kecil saya banyak dihabiskan dengan mandi-mandi di sungai samping rumah. Rasanya sungguh menyenangkan. Selepas sekolah atau jelang sore, saya bersama kawan-kawan sepermainan beramai-ramai ke sungai yang tidak terlalu dalam guna mandi atau sekadar keceh.
Ciblang-ciblung, saling menggosok punggung, membuat bendungan dari tumpukan batu dan pelepah pisang, hingga perosotan di batu-batu berukuran besar yang licin menjadi pengalaman yang sangat menyenangkan. Kenangan itu benar-benar membekas, sekaligus saya kekalkan di sudut ingatan.
Saat Renjana lahir, saya sudah berjanji dalam hati untuk “membabtisnya” di sungai sedini mungkin. Tapi semuanya itu masih sebatas wacana. Sempat saat saya pulang kampung, saya ajak dia mencelupkan kaki di sungai samping rumah. Tapi menurut saya itu bukanlah esensi mandi di sungai.
Beruntung, awal tahun lalu saya mendapatkan ajakan untuk mengikuti gathering di Kalikuning Adventure Park. Dalam salah satu agendanya disebutkan bahwa kami akan trekking menyusuri lembah Kalikuning dimana ada dua sumber mata air yang mengalirkan air bersih sekaligus jernih.
Selepas membuka mata dan menikmati dinginnya udara Kinahrejo, saya sudah bilang pada Renjana bahwa hari itu dia akan mandi di sungai. Terang saja bocah tiga tahun itu memekik riang. Hanya saja sebelum sampai di sungai kami harus trekking lebih dulu, dan Renjana tidak boleh rewel. Dia pun mengangguk-angguk sambil tetap bergerak heboh.
Baca: Camping Ceria di Kalikuning Adventure Park
***
Usai sarapan dan mengikuti permainan singkat yang berhasil menerbitkan tawa, kami pun memulai trekking. Rute kali ini dimulai dari pendopo Kalikuning Park, turun menuju kawasan Plunyon, lalu kembali ke utara menyusuri aliran Kali Kuning hingga tiba di Umbul Lanang dan Wadon. Setelah itu kami akan bersama-sama kembali ke camping ground.
Di awal perjalanan rutenya masih sangat menyenangkan. Kami menyusuri jalan conblok dengan lebar sekitar 1 meter. Berhubung datang di bulan yang tepat, maka suasana terlihat sangat segar. Hamparan rumput hijau dan alang-alang menghiasi kanan kiri jalan. Bunga-bunga liar bermekaran, membuat kupu-kupu tak lelah terbang dan kembali hinggap ke kelopaknya.
Pada kesempatan ini pula saya kenalkan Mimosa pudica alias si putri malu kepada Renjana. Matanya membulat takjub saat melihat kelopak daun yang disentuh itu menutup dirinya dengan cepat. Kok bisa? Mungkin itu yang melintas dalam benaknya. Setelah menonton “pertunjukan” saya, dia pun langsung mencoba memegang daun putri malu dan terus melakukannya. Bahkan saya terpaksa harus menggendongnya sejenak supaya dia mau “menyingkir” guna melanjutkan perjalanan.
Di sepanjang jalan, bocah kecil ini begitu cerewet menanyakan ini dan itu. Selepas jalan conblok yang terletak berdekatan denagn jalan raya, rute pun mulai menukik turun. Dari jalan yang landai berubah menuruni anak tangga yang curam. Kali ini kami tak ingin mengambil resiko, Renjana pun digendong ayahnya.
Turunan yang menukik tajam itu rupanya membawa kami menuju jembatan Plunyon. Sebelum erupsi Merapi pada 2010, kawasan ini dulunya dipenuhi rimbun pokok pinus. Suasananya sangat dingin dan segar. Jika ingin camping dengan merasakan dinginnya udara gunung tanpa harus mendaki, tempat ini adalah lokasi yang cocok. Kesegaran hutan pinus berpadu dengan gemericik aliran Kali Kuning yang mengalir sepanjang waktu, menjadi sumber penghidupan bagi warga di daerah bawahnya.
Baca: Kinahrejo, Harmoni Kehidupan Lereng Merapi
Namun erupsi Merapi membumihanguskan kawasan ini. Hutan pinus yang rimbun hanya tinggal kisah yang kekal dalam ingatan. Kini yang tersisa hanya pokok-pokok besar yang meranggas. Setidaknya mereka yang bertahan ditengah gempuran material vulkanik. Pokok-pokok itu lantas menjadi rumah fauna endemik Merapi serta burung-burung lain seperti perling mata merah (Aplonis minor) yang sesekali melongokkan kepalanya dari dalam lubang pohon.
Puas mengamati burung menggunakan binocular, kami lantas menyeberang jembatan dan mulai berjalan menyusuri tepian kali. Berbeda dengan medan sebelumnya yang berupa jalur conblok, rute kali ini adalah hanparan ilanang dimana kami harus mencari-cari mana jalan setapaknya.
Awalnya saya sempat khawatir akan Renjana, sebab di beberapa tempat tinggi rumput jauh melampaui tinggi tubuhnya. Namun rasanya kekhawatiran alami saya sebagai seorang induk tidak beralasan,bocah itu justru bisa menyatu dengan sekitarnya. Dia berjalan, melompat, sambil sesekali berlari di antara perdu dan ilalang. Hanya memang di trek yang benar-benar sulit atau berair saya dan Mas Chandra bergantian memapah atau menggendongnya.
Di sepanjang tepian sungai ini ada banyak flora yang jarang terlihat di kota seperti aneka pakis dan pegangan. Sayangnya saya tak punya banyak waktu untuk memperhatikannya lebih seksama atau bertanya kepada guide. Mungkin lain kali saya harus kembali ke tempat ini khusus untuk #jelajahflora.
Sejak pertama melihat aliran sungai, sebenarnya Renjana sudah gegas minta mandi. Tapi selalu saya tahan-tahan karena belum sampai di titik jeda, yakni kawasan Umbul Wadon dan Lanang. Saya biarkan dia merengek dan merajuk “Ibuk bRe mau mandi” di sepanjang jalan. Apalagi mengingat air yang sangat dingin kok rasanya kasihan.
Tapi tatkala kami tiba di tempat pemberhentian, saya berubah pikiran. Saya rasa ini memang saat terbaik untuk mengenalkan Renjana pada euphoria mandi di sungai. Apalagi ini adalah titik di mana aliran sungai itu bermula, sehingga airnya benar-benar jernih dan masih terbebas dari segala sampah dan kotoran seperti sungai-sungai yang ada hilir.
Setelah saya lepas seluruh bajunya, saya pun membiarkan bocah tersebut duduk di tengah-tengah aliran sungai kecil. Kali ini saya bebaskan dia bermain air sepuasnya, termasuk saat dia membenamkan wajah dan kepala ke aliran sungai. Tanpa peduli rasa dingin yang menyusup tulang, Renjana terus saja memekik girang.
***
Dear Renjana,
Ibu bukan Thetis dan kamu bukan Achilles. Kita berdua tidak tahu takdir apa yang akan menyambut di kehidupan ini. Tapi seperti halnya Thetis, tentu saja ibu memandikanmu di Kalikuning bukan tanpa alasan. Jika Thetis ingin membuat putranya kebal dari senjata, maka ibu hanya ingin membuatmu merasakan energi semesta seutuhnya.
Mandilah sepuasmu, nak. Rasakan kesejukan sebenar-sebenarnya sebuah sungai.
Inilah sungai yang menghidupi tanah-tanah di daerah bawah. Inilah urat nadi yang mengalirkan kehidupan baik untuk tanaman maupun untuk manusia di kawasan bawah. Menyatulah dan rasakan semuanya. Belajarlah sebaik-baiknya dari mata air dan sungai ini.
Saat dewasa kelak, ingatlah selalu bahwa kau pernah merasakan kesenangan sejati saat berkubang di mata air ini. Karena itu camkan betul dalam hatimu, jangan sekali-kali kau melakukan sesuatu yang bisa merusak dan mengancam keberadaan mata air. Karena sungai dan seluruh mata air yang ada adalah sumber kehidupan.
Selamat menjadi putra Lereng Merapi, lelaki kecilku!
Disclaimer
Foto-foto yang ada dalam postingan ini tidak semuanya milik penulis. beberapa di antaranya adalah foto milik peserta acara gathering dengan BTNGM Gunung Merapi. Berhubung sudah tercampur di folder jadi bingung itu foto siapa saja. Jika ada yang tidak berkenan fotonya dipasang di postingan ini bisa langsung japri saya. Nuwun 🙂
Udah lm g ikut kegiatan outbond..seru memang..
Sesekali perlu ikutan lagi, mas.
seru banget acaranya mbak, si kecil hebat ya.
seneng banget kayanya di main di air 😀
walau sesekali akhirnya digendong hihi
Iya, mbak. Ini bocah kalo diajak main ke alam girang banget 🙂
Ketika baca bagian ini:
Ibu bukan Thetis dan kamu bukan Achilles…
Hampir kubaca Thanos, buman Thetis ?
Besyukurlah bre, masa kecilmu diajarkan menyatu dengan alam. Belajar langsung dari media ciptaam Tuhan yang memberi kehidupan. Salut!
Q!! please deh 🙁
Lihat thanos ku langsung teringat gethuk lindri dan pengen nyanyi “Thanos asale soko teloooo” ahahahahaha
Jadi kapan Om Rifqy mo ngajakin bRe pikniiiiik?
Kan sudah kuajak ke Ledok Sambi, sido opo ora iki? 😛
Aaa.. aku pun bakal semangat sekali susur kali kalau airnya sejernih ini bu bRe :p
Tiap ada dialognya bocah itu, aku jadi ngebayangin langsung nada suaranya 😀
Burung perling mata merahnya mencuri perhatian sekalii, semoga terus lestari :))
Seger banget, ya. Aku pun aslinya pengen ikutan ciblang ciblung pas dibagian yg agak dalam, tapi ku malu hihihihi.
Amiiin amiiiin, lestari Merapiku
Aku kalo disebut Achilles ingetnya ada lelucon kalo si Achilles itu tewas bukan karena senjata, tapi karena keseleo wkwk
Paling enak itu emang habis trackking terus mandi. Seger.
Btw, jalurnya apa cuma lewat situ satu-satunya, Mbak?
Nyiahahahaha, kamvret, aku ngakak. Keseleo kok piye 😀
Kayaknya ada beberapa jalur sih, ku kurang tahu juga.
Kunjungan perdana nih kak . . . Salam kenal ya
Terima kasih sudah berkunjung, kak. Salam kenal juga 🙂
Salam kenal, mbak… Pertama berkunjung 🙂
Asyik memang mengenalkan alam kepada anak ya. Semoga bRe bertumbuh dengan kekuatan alam… Dziiingg!!
Selamat datang di blog saya, mas 🙂
Iya, biar anak dekat dengan alam sejak kecil dan nggak lupa akarnya.
Aku suka suasana Plunyonnya. ❤❤❤
Plunyon yang dulu apa sekarang?
Sayange Kali Kuning uwadoh soko Semarang, gak mungkin juga anaku tak jak ciblon di Kali Garang, ahaha
Sudah sempat nyasar sih beberapa wisata air terjun di Semarang yang kudu treking nyusuri tepian sungai buat kelak kalau sudah bisa jalan, ahaha.
Jadi ingat seseorang ketika survey kambing di Kulonprogo, beliau berkata “air jernih itu memiliki sifat melunturkan sifat duniawi manusia ketika melintasinya”.
Ojok mas, measkke anakmu nek neng kali garang ahahahaha.
ah suka kalimatnya “air jernih melunturkan sifat duniawi manusia ketika melintasinya”
salam kenal mbak ? nemu blog ini saat browsing ttg kali kuning. trus ikutan ke sana dan turun ke umbul lanang wadon, tapi saya nyari jembatannya itu kok ndak ketemu ? padahal airnya dingin banget ya tapi anak2 bisa enjoy aja yaaa.
Salam kenal juga, mbak. Ah senang, cerita di blog ini bisa jadi ide buat jalan-jalan para pembaca hehehe. Mbak turunnya dari mana? kalau dari camping ground Kalikuning Park langsung memang nggak ketemu, karena langsung sampai di Umbul Lanang Wadon. Jembatan ini ada di kawasan Plunyon, jadi masih harus trekking lagi ke arah selatan alias ke bawah. Misal ogah trekking lama bisa langsung masuk kawasan Plunyon lewat pintu masuk Plunyon dan bukan Kalikuning Park.
Seneng liat mbak Murni sudah membiasakan anaknya Renjana untuk dekat dengan alam dari kecil… ah sayang di sungai di Kupang gak ada airnya
Hehehe, ini aslinya modus mamak biar bisa tetap keluyuran, jadi bawa anak sekalian. Akhirnya semua jadi senang 🙂