Semangat Mencintai Indonesia Berawal dari (Jazz) Gunung

Graphic1

Pada suatu sore nan muram, di atas kereta yang melaju menuju Magetan mendadak ponsel saya berdering. Tak ada nama, hanya deretan angka berkode ibu kota. Awalnya saya sempat mengira itu nomor dari perusahaan yang berkantor di Palmerah, ternyata setelah saya angkat itu nomor dari editor baru saya.

Intinya, saya ditugaskan untuk menyambangi Bromo guna meliput gelaran Jazz Gunung. Meski pusing mengatur ulang jadwal yang bertabrakan, spontan saya mengiyakan.

Akhirnya pada Kamis malam nan hujan saya berangkat menggunakan Malioboro Express. Lagi-lagi sendirian dan tanpa teman. Saya memilih lewat jalur Malang – Probolinggo – Bromo. Beberapa teman yang saya temui di Bromo sempat menyesalkan mengapa dari Malang tidak langsung ke Bromo lewat jalur Tumpang dan malah memilih memutar ke Probolinggo yang lebih jauh, saya cuma tersenyum. Dengan waktu yang mepet dan berjalan sendirian saya pikir itu rute yang paling tepat dan aman.

Gugusan Pegunungan Menjadi Background Panggung Jazz Gunung
Panggung terbuka yang dikelilingi gunung-gemunung

Berkesempatan menikmati Jazz Gunung yang dilangsungkan di Java Banana Bromo selama 2 hari berturut-turut dan tidak perlu mengeluarkan uang sepeser pun untuk membayar tiket dan akomodasi itu benar-benar menyenangkan hihihi. Meski tidak bisa kemana-mana akibat gerimis yang sering turun saya tetap bisa menikmati keseluruhan acara.

Saya sangat menikmati penampilan demi penampilan para musisi yang hadir dalam acara Jazz Gunung, mulai dari musisi dan seniman lokal macam Tahez Komez, Cantrek, Blambangan Art School Banyuwangi, Kramat Madura, hingga musisi papan atas seperti Yovie Widianto Fusion, Balawan & Batuan Etnic Fusion, Sierra Soetedjo, Bandaneira Duo, Ring of Fire, Kulkul Band, Rieka Roeslan, serta Barry Likumahua Project.

Tak ketinggalan juga dua MC koplak Alit & Gundi serta Om Butet yang menciptakan kata-kata koplak semacam “Gaul, gilak, gondes,” dan “mantan adalah jodoh orang yang kita coba”. Oya satu lagi, Pak Menteri Gita Wiryawan yang berhasil diajak ngejamm bareng Djaduk Ferianto & Idang Rasjidi.

Buat saya setiap performer memiliki kekhasan masing-masing. Saya sempat merasakan aura magis tatkala mendengar petikan gitar Balawan yang dipadukan dengan gamelan Bali di malam yang dingin. Kabut yang tadinya memenuhi venue perlahan menghilang sehingga bulan yang hampir purnama terlihat di langit Bromo. Magic.

IMG_6787
Ngejazz di bawah sinar rembulan

Panggung terbuka Java Banana Bromo kembali tersaput kabut tebal saat Ring of Fire pimpinan Djaduk Ferianto tampil di atas panggung. Alunan saxophone berpadu dengan musik etnik terdengar sungguh cantik. Melambungkan pikiran saya jauh menuju gambaran gunung gemunung yang ada di buku Ekspedisi Cincin Api Kompas.

Saya juga sempat merasa galau ketika Yovie Widyanto memainkan instrumen lagu “kemana langkahku pergi, slalu ada bayangmu…” Malam yang dingin di Bromo berubah romantis. Pasangan yang duduk di sebelah saya langsung saling menggenggam jemari dengan mesra. La saya? Cukup menggigit kartu pers yang tergantung di leher. Asyem, mendadak nggerus, mendadak kangen mas pacar, dan mendadak Bromo jadi terasa semakin dingin.

Sedangkan Rieka Roeslan & Barry Likumahua Project mampu membuat saya berdiri dan bergoyang. Dengan koplaknya si Alit bilang “Mbak Rieka tuh nggak bisa move on, masak lagunya dahuluuuu semua indah. Masa lalu kok diingat-ingat terus. Move on dong mbak,” hahaha. Koplak to the max.  Dan saya suka banget penutupnya dari BLP, saat dia bilang “Love God, Love people, love Indonesia,” aiisssh manis bener.

20
“Love God, love people, love Indonesia,” kata Barry Likumahua

Selama 2 hari pertunjukan Jazz Gunung tersebut ada 1 moment dimana saya bener-bener terharu dan langsung merasa nyesek yakni saat Lea Simandjuntak menyanyikan lagu “Tanah Air” karya Ibu Soed. Lawong di momen biasa saja saya selalu terharu mendengarkan lirik demi lirik lagu tersebut, apalagi ini momennya di tengah dinginnya udara Bromo, malam hari, dan sendiri.

“Tanah airku tidak kulupakan, kan terkenang sepanjang hidupku. Meskipun saya pergi jauh, tidak kan lupa dari kalbu. Tanah ku yang kucintai, engkau ku hargai…”

Panggung Jazz Gunung Kala Senja
Magic blue

Bagi saya pribadi lagu tersebut sangat menggugah semangat untuk terus mencintai Indonesia, semangat untuk terus berjalan mengunjungi tempat-tempat baru, semangat untuk terus berkarya. Berawal dari atas gunung, semangat itu semoga akan terus menyebar . Semoga!

Ps: dua foto terakhir ini numpang narsis hihi. skip saja kalau males lihat.

1
Menjejak lebih dulu!
2
Satu-satunya foto saya di Jazz Gunung hihihi

Elisabeth Murni
Elisabeth Murni

Ibu Renjana | Buruh partikelir paruh waktu | Sesekali bepergian dan bertualang.

Articles: 250

7 Comments

  1. Senengnyaaa… bisa jalan2 gratis, nikmati jazz gunung.. ini event kereeen…
    liputan yg menarik Sash

    Hihihihi, iya Bu. Seneng pake banget. Termasuk beruntung bisa menyaksikan acara ini 🙂

  2. Akkkkhhhh…jazz gunung..pengen bgt liat..jadi inget..ga bisa liat jazz atas awan di dieng culture festival minggu depan juga..hiks…hikss…aku pengen bolos kerja :(:(

    Hihihi, nabung Tos. Biar tahun depan bisa lihat, soalnya tiketnya lumayan merogoh kocek je. Besok aku pamerin liputan Jazz Atas Awan-nya deh hahahaha

  3. Waa ternyata banyak pemusik papan atas yang hadir yah… Mantap banget liputannya, jadi punya gambaran kaya apa sih Jazz Gunung itu 🙂

    Iya mas, soalnya ini pure bisnis sih ya. Jadi musisi seniornya banyak.

  4. Aaaakkkkk! *Speecless, saya ingin mewek* Dieng Culture Fest pun harus di-skip! :(((((

    Hihihihi, besok Dieng Culture Fest & Jazz Atas Awan daku pamerin foto-fotonya aja deh Cah, sebagai penghibur ketidakhadiranmu hahaha

  5. Wah, bayangin Bromo aja dah keren ditambah ada pertunjukan Jazz gunung…. jempol dah buat liputannya.

    Sayang kemarin gak sempet ke Bromonya, mas. Gerimis terus. Jadi cuma di venue aja, di Desa Wonoroto. Btw terimakasih sudah berkunjung 🙂

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *