Kepindahan selalu mengajarkan banyak hal. Tentang keikhlasan untuk melepaskan, tentang keberanian untuk memasuki dunia baru, tentang penerimaan bahkan penolakan. Tapi apa pun yang terjadi, percayalah. Selalu ada indah di setiap pindah.
Sewindu. Nyaris 100 purnama. Nyaris 3000 hari. Ya, selama itulah saya tinggal di kontrakan sederhana di sudut Karangmalang. Beskre, begitu biasa saya dan kawan-kawan menyebutnya. Kontrakan itu lumayan besar. Memiliki 3 kamar, ruang tamu yang luas, dapur, toilet dan kamar mandi, garasi, halaman depan samping, dan belakang.
Gempa 2006 adalah awal saya tinggal di rumah tersebut. Kondisinya masih bagus, bersih, dan rapi. 1 kamar dihuni oleh 2 orang. Jadi total penghuninya ada 6 orang. Abel, Riris, Meke, Jati, Nita, dan saya. 6 gadis cerewet dengan beragam karakter tinggal dalam satu rumah, tentu saya menciptakan keriaan tersendiri. Belum lagi ditambah penghuni-penghuni gelapÂť yang sering berdatangan untuk menginap atau sekadar numpang makan saat tanggal tua dan kiriman belum tiba.
Lantas satu persatu dari mereka lulus dan meninggalkan Beskre. Orang-orang baru pun mengisi kekosongan. Mereka datang silih berganti. Mulai dari Tutik, Dyanne, Titis, Aning, Mbak Dede, Mbak Ve, Rossy, Lusy, Dini, Tami, dan Kak Inggrid. Sedangkan saya masih tetap bertahan disana.
Bagi kami semua Beskre bukan hanya kos-kosan biasa. Namun Beskre mampu menjadi rumah yang hangat dan mengayomi, penuh tawa dan penuh cinta. Kondisi fisik bangunan yang semakin memburuk akibat tidak pernah direnovasi oleh pemiliknya tidak mampu melunturkan cinta kami pada Beskre. Hampir semua yang tinggal di Beskre sejak awal semester pasti akan terus bertahan hingga lulus kuliah.
Tak hanya berkesan bagi kami penghuninya. Beskre juga menjadi semacam oase bagi mereka yang kesepian, kelelahan, hingga kelaparan. Pintu Beskre selalu terbuka bagi siapapun yang membutuhkan. Di rumah inilah saya belajar tentang banyak hal. Persinggunggan dengan kawan-kawan semakin mengasah karakter saya, membentuk kepribadian saya.
Sepertiga usia telah saya habiskan di rumah itu. Hingga saya merasa Beskre adalah rumah saya. Gara-gara hal tersebut sempat muncul ketakutan besar, jika waktunya tiba nanti mampukah saya meninggalkan Beskre?
Tapi hidup memaksa kita untuk menjadi dinamis, terus bergerak, terus menyesuaikan dengan perubahan. Pada akhirnya saya menikah. Mau tidak mau saya harus meninggalkan Beskre. Perlu waktu 4 bulan bagi saya untuk mengemasi barang-barang dan mengemasi hati. Hingga akhirnya tadi malam, Kamis 11 September 2014, saya memutuskan untuk benar-benar pindah dan mengambil barang-barang terakhir saya di Beskre.
Dari dulu saya tidak pernah mau melihat momen kepindahan sahabat-sahabat saya. Saat mereka mengemasi barang-barang dan berlalu pergi, saya memilih untuk menghilang. Ucapan selamat jalan selalu saya sampaikan lewat sms, telepon, atau surat. Saya tak ingin ada adegan perpisahan sentimentil yang penuh air mata.
Tadi malam pun seperti itu. Saat saya pindah tak ada satu pun sahabat yang saya jumpai selain Tami dan adiknya. Saya bersyukur, setidaknya itu membuat perasaan saya jauh lebih tenang dan nyaman.
Kini saya sudah tinggal di rumah baru, di kaki merapi yang sunyi. Tak ada hiruk pikuk tawa anak-anak kos, tak ada fragmen rebutan kamar mandi tiap pagi, tak ada omelan marah dari tetangga depan akibat suara gaduh hingga subuh. Disini saya memulai hidup baru.
Jika segala sesuatu ada masanya, maka masa saya untuk bernaung di Beskre telah usai. Biarlah Beskre menjadi tempat tinggal wajah-wajah baru. Saya memang sudah pergi, tapi kenangan tentang Beskre akan selalu ada di hati. Dan saya percaya, kenangan itu yang akan selalu menyatukan saya dengan mantan penghuni Beskre yang lain.
Beskre, terimakasih untuk 8 tahun yang luar biasa.