Minggu Melamun: Mengampuni

Awalnya reaksi saya tidak terlalu terkejut saat mendengar ada bom molotov dilempar ke kompleks gereja di Samarinda siang tadi (Minggu, 13 November 2016). Hidup sebagai minoritas di negeri ini rasanya harus siap menghadapi hal-hal semacam ini. Kami sudah biasa mendapatkan hinaan, cercaan, teror dan ancaman.

Gedung gereja boleh saja diruntuhkan, jemaat boleh saja dilarang beribadah, namun percayalah itu tak akan melunturkan iman percaya kami. Sebab gereja bukanlah gedung melainkan ada dalam diri orang-orang. Saya hanya berdoa dalam hati semoga pelaku segera ditangkap, diproses hukum sebagaimana mestinya, dan yang terlebih penting dia bisa bertemu dengan Tuhan secara pribadi.

Namun sore ini saat melihat foto seorang bocah yang menjadi korban mau tidak mau hati saya berontak. Pemandangan seorang bocah dengan gips atau benda apalah itu berwarna putih yang membalut tangannya dan juga membalur wajahnya dan kaki yang terluka membuat saya menitikkan air mata.

Ingatan saya melayang pada usia kanak, saat saya berusia 6 atau 7. Hari minggu adalah hari yang saya tunggu. Bukan karena sekolah libur dan bisa bangun siang serta nonton deretan film kartun lucu yang jadi kesukaan generasi 90-an. Bagi saya hari minggu justru hari dimana harus bangun lebih pagi sehingga tidak terlambat datang sekolah minggu yang dimulai pukul 07.00 wib (sedangkan kala itu sekolah saya masuk pukul 07.30).

Agenda saya di hari minggu adalah seperti ini. bangun, mandi, sekolah minggu hingga pukul 08.30, latihan koor sekolah minggu, lantas disambung dengan ibadah raya pukul 10.00 wib. Selesai ibadah raya barulah bisa bermalas-malasan. Berhubung jemaat di gereja saya datang dari berbagai tempat (bukan hanya penduduk desa saja) maka setiap hari minggu saya pasti jumpa dengan kawan-kawan sepermainan yang tidak bisa saya jumpai pada hari-hari biasa. Mereka adalah anak-anak kota yang datang dengan membawa beragam cerita, aneka mainan terkini, serta jajanan-jajanan yang jarang ada di desa.

Saat orangtua sedang ibadah minggu, maka kami bocah-bocah akan berkumpul di halaman gereja dan bermain sesukanya. Mulai dari lompat tali hingga petak umpet. Syaratnya cuma satu, kami tidak boleh berisik. Saat firman selesai, barulah kami bocah-bocah bau keringat ini masuk ke gedung gereja dan mencari orang tua masing-masing untuk ikut perjamuan kudus. Kami ogah ikut ibadah raya, sebab itu berlangsung lama dan membosankan, lagipula kami anak-anak kan sudah ikut Ibadah Sekolah Minggu.

Mungkin hal itu juga yang dilakukan oleh anak-anak di Gereja Oikumene yang menjadi korban pemboman. Mereka sedang asyik bermain dengan kawan-kawannya lantas ada orang yang melemparkan bom ke kompleks gereja dan melukai mereka. Hari minggu yang seharusnya ceria berubah menjadi isak tangis.

Sampai di titik ini saya merasakan kemarahan yang sangat. Rasanya ingin mengutuk dan mengeluarkan aneka sumpah serapah kepada pelaku dan juga orang-orang yang ada dibelakangnya.

Tapi apakah dengan menyumpah dan mengutuk hati saya akan menjadi damai? Enggak. Kemarahan itu justru tetap tinggal dan mungkin bisa semakin membesar. Dan kemarahan itu menular. Dari marah menjadi benci. Benci juga menular. Dari membenci pelaku akhirnya bisa merembet kemana-mana dan akhirnya menggeneralisir. Ah agama anu memang teroris. Padahal itu salah besar.

Meski sedih, kecewa, dan marah saya belajar untuk mengampuni tepat seperti yang DIA ajarkan. Untuk apa membenci karena itu tidak akan menyelesaikan apa pun. Mengasihi tanpa batas, mengampuni tanpa henti. Biarlah apa yang terjadi menjadi peringatan buat kami untuk selalu mawas diri dan berjaga-jaga. Ini semua tidak akan menghancurkan iman kami.

Kami mengampuni dan mendoakan kalian. Semoga kalian mendapatkan jalan terang dan menemukan jalan kebenaran sejati.

Sedangkan untuk jemaat yang menjadi korban saya berdoa semoga mereka terus dikuatkan serta bisa mengampuni para pelaku. Untuk adik kecil yang terluka, cepatlah pulih ya nak. Tuhan Yesus yang akan menyembuhkan dan menjagai hidupmu.

Jogja, 13 Nov 2016
banyak yang masih ingin ditulis tapi saya mendadak gagu…

Elisabeth Murni
Elisabeth Murni

Ibu Renjana | Buruh partikelir paruh waktu | Sesekali bepergian dan bertualang.

Articles: 250

6 Comments

  1. Saya sedih membaca berita itu apalagi tau korbannya adalah anak yang seumuran anakku. Hati ini perih. Di semua agama tidak pernah dibenarkan untuk melakukan hal tersebut.
    Semoga negara kita bisa keluar dari masalah-masalah yang menimbulkan gesekan seperti ini. Indonesia damai..

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *