Senja menyepuh pasir halus di sepanjang Pantai Tanjung Pendam, Belitung dengan warna keemasan. Ramai remaja bermain bola di pasir pantai yang sedang surut, beberapa berpose bak model berlatar laut senja, sebagian duduk-duduk di gazebo yang ada di pinggiran pantai. Suara motor yang digeber dengan kencang di jalan paving menuju taman yang dipenuhi pohon pinus terdengar bising, berpadu dengan teriakan dan tawa riang. Di belakang, bayangan hotel-hotel yang menjulang mulai pudar.
Berjingkat-jingkat saya melangkah di atas bubuk pasir yang sangat halus. Sandal gunung yang telah menemani langkah selama ini saya buntel ke dalam kantong plastik lantas saya masukkan ke dalam ransel. Saya ingin merasakan nikmatnya melangkah di atas pasir lembut dengan kaki telanjang. Di beberapa tempat saya terpaksa harus melompat-lompat, menghindari rombongan ribuan kepiting laut yang berbaris miring. Dengan cepat mereka melangkah ke samping. Jika sepintas lihat itu seperti pasir yang bergerak. Wow, pertunjukan kolosal yang keren.
Awan gemawan yang menggantung di langit nampak seperti gumpalan permen kapas yang langsung meleleh ketika menyentuh lidah. Sedangkan laut terlihat begitu tenang tanpa deburan ombak maupun angin kencang yang membuat rambut kusut masai. Sungguh sore yang menyenangkan. Saat menengok ke samping, saya melihat seorang remaja yang berjalan sambil menggamit lengan kekasihnya. Saya tersenyum kecut. Ah sial. Andai ada Mas pacar.
Saya pun terus melanjutkan menyisir tepian pantai sambil sesekali mengambil gambar. Lagipula saya penasaran dengan banyaknya orang yang saya lihat di salah satu sisi pantai. Ratusan orang yang saya lihat itu terlihat sedang menunduk bahkan berjongkok, entah apa yang sedang mereka lakukan. Tiba-tiba saya teringat ucapan seorang kawan “Saat air laut sedang surut hingga jauh ke tengah biasanya orang-orang akan turun ke pantai untuk mencari kijing.”
Hati saya pun bersorak. Jangan-jangan mereka memang sedang mencari kijing. Sebab sore ini laut surut sangat jauh, hampir 1 km lebih dari bibir pantai. Sudah lama saya ingin melihat tradisi Ngijing ini. Dalam kunjungan saya ke Belitung tahun sebelumnya, saya tidak berhasil mengabadikan tradisi ini. Saya pun mempercepat langkah bahkan sedikit berlari. Rupanya tebakan saya benar, mereka memang sedang mencari kijing.
Kijing merupakan salah satu biota laut yang termasuk dalam jenis kerang-kerangan. Bentuknya cukup unik, cangkangnya berwarna coklat kehijauan dengan bentuk menyerupai ruas bilah bambu. Karena itu, di beberapa tempat di juga dikenal dengan nama kerang bambu, sedangkan di daerah pesisir selatan Madura dikenal dengan nama Lorjuk. Biota yang masuk dalam ordo Veneroida ini biasa hidup di pesisir pantai yang berlumpur.
Ya, Pantai Tanjung Pendam memang merupakan pantai berlumpur dan sedikit tercemar oleh aktivitas penambangan timah jaman dulu. Karena itu keberadaan kijing di pantai ini cukup menggembirakan. Sebab kijing merupakan salah satu filter biologi dalam perairan tercemar. Kijing rupanya mampu memanfaatkan plankton yang terkandung dalam perairan tercemar. Bahkan plankton tersebut diubah menjadi protein dalam dirinya sehingga kijing menjadi salah satu biota laut yang memiliki nilai gizi tinggi. Jadi keberadaan kijing selain bisa mendegradasi bahan tercemar dan meningkatkan kualitas perairan juga mampu menjadi alternatif sumber pangan masyarakat.
Berhubung saya penasaran dengan tradisi ngijing sekaligus penasaran ingin melihat kijing alias kerang bambu secara langsung, saya pun mendekati seorang bocah kecil yang tengah asyik memancing kijing menggunakan lidi dan kapur sirih yang ditumbuk. Bocah kecil tersebut namanya Ersa, usianya 9 tahun dan masih duduk di kelas 2 SD Negeri di Tanjung Pandan. Dengan mata bulat, rambut ikal, dan kulit hitam, sepintas dia tidak mirip bocah Melayu melainkan lebih menyerupai orang Timur. Rupanya praduga saya tidak salah, kedua orangtuanya berasal dari NTT dan sudah tinggal di Belitung sejak belasan tahun lalu.
Cara memancing kijing ini sangat unik. Pertama-tama dia mencelupkan bilah lidi ke dalam kapur sirih yang telah dicampur dengan air, lantas mencari lubang tempat persembunyian kijing. Setelah lubang ditemukan, dia pun memasukkan lidi sambil menggoyang-goyangkan dengan pelan. Jika kijing sudah mencengkeram, maka lidi itu pun ditarik dengan cepat. Hup. Dapatlah satu kijing yang kemudian di kumpulkan ke dalam botol air mineral bekas. Selain kijing dia pun mencari siput laut.
“Kakak mau cuba?” tanyanya pada saya dengan logat Belitung yang kental.
“Boleh kah?” tanya saya ganti. Dia hanya mengangguk sambil tersenyum dan menyerahkan lidi serta kaleng sirih. Kemudian saya meniru apa yang dia lakukan. Memasukkan lidi ke sirih dan mencari lubang tempat persembunyian kijing. Berkali-kali saya coba dan selalu gagal. Tidak ada satu kijing pun yang saya dapat. Tiap saya menarik lidi yang ternyata kosong, Ersa selalu tergelak.
“Ersa, kasih tau kakak dong yang ada kijingnya tuh lubang yang kayak apa?” kata saya memohon.
“Lubang yang gerak-gerak kak, yang seperti ini,” jawabnya sambil menunjukkan sebuah lubang kecil. Ternyata benar, saat saya memasukkan lidi ke lubang tersebut saya berhasil mendapatkan seekor kijing yang cukup besar. Kini saya pun tahu triknya.
Rupanya tidak hanya saya yang tertarik untuk Ngijing. Beberapa wisatawan yang sedang bermain ke Pantai Tanjung Pendam juga nampak asyik mendekati bocah-bocah hingga orang dewasa yang tengah ngijing. Bahkan tak jarang mereka merayu anak-anak tersebut untuk menjual kijingnya. Rupanya kemuncaulan kijing ini musiman sehingga sulit mencari kijing di pasar. Biasanya para pencari kijing mencari untuk konsumsi pribadi. Salah satu kawan Ersa, menjual kijingnya seharga Rp 5.000 per gelas aqua. Itu pun setelah dirayu-rayu oleh ibu-ibu asal Bangka yang sedang berlibur.
“Tak kau jual kijingmu, Sa?” tanya saya saat kami berdua usai memancing kijing dan berjalan pulang meninggalkan Pantai Tanjung Pendam yang mulai gelap.
“Enggak. Kijingnya mau dimasak umak.”
“Biasanya dimasak apa? Emang enak?”
“Digoreng, ditumis. Enak. Kakak belum pernah cuba kah?”
Saya menggelang pelan. Penasaran juga pengen tau rasanya kijing seperti apa. Mungkin seperti bekicot? Atau keong? Ah sayang tidak ada yang jual tumis kijing di Belitung. Padahal katanya kijing memiliki kandungan gizi serta protein tinggi. Di persimpangan jalan Ersa pamit pada saya lantas naik ketangin (sepeda) dan mengayuhnya cepat. Ember kecil yang terbuat dari botol aqua bergoyang-goyang seirama dengan kayuhannya. Saya pun bergegas berjalan menuju kota. Suara adzan magrib telah terdengar dari Masjid Al Ikhram yang terletak di dekat pantai. Mentari telah tenggelam jauh di barat dan hari semakin pekat.
wha, lain kali kalau ke sana lihat juga deh…
tulisan bagus!!
Nyokap gw suka banget masak tumis kijing + tempe … baca tulisan ini jadi kangen nyokap 🙁
reportase menarik.. jadi penasaran pengen tau rasa tumis kijing 🙂
enak ya kijingnya???
Balutan bahasanya nbagus, Sash, mestinya dibukukan. 🙂 Jadi penasaran dengan kelanjutan kisahnya.