Seorang lelaki, bergerak melintasi anak tangga dengan dinding tanah merah di sisinya. Langkahnya panjang dan cepat. Berpacu dengan waktu. Seolah ada yang tengah menanti di atas sana. Di belakangnya, saya mengekor dengan pelan. Lambat dan tidak tergesa, menikmati setiap momen perubahan warna mega. Mata saya tak henti menatap bukit di depan yang berwarna emas menyala akibat pantulan mentari sore. Langit biru bersih seolah menjadi tudung yang menyejukkan.
Tepat di puncak bukit terdapat telaga. Tak lebar, hanya seperempat hektar lebih sedikit. Cukup 15 menit, bahkan mungkin tak sampai jika ingin mengitarinya. Dulu telaga ini merupakan sebuah bukit bernama Gunung Gandu. Bukit itu lantas di potong dan dikeruk guna dijadikan telaga tadah hujan yang bisa mengairi kebun buah yang ada di sekitarnya. Tak heran jika masyarakat sekitar lebih suka menyebutnya embung dibanding telaga. Sebab fungsinya memang sebagai sumber pengairan. Ah apapun bentuknya, gunung atau telaga, tempat itu tetap memberi penghidupan bagi sekitarnya.
Lelaki itu sudah tiba di tepian telaga. Dia terlihat menatap jauh ke deretan ladang tower yang diguyur cahaya keemasan. Rupanya senja sudah tiba. Dengan sembunyi-sembunyi saya ambil kamera, lantas saya tangkap profilnya menggunakan rana. Saya tak ingin kehilangan momen ini. Dia terlihat begitu keren dalam siluet senja.
Lelaki dan senja. Lelaki dan telaga. Telaga, lelaki, dan senja. Aih! Terdengar romantis ya. Mendadak saya ingat sepenggal lirik laku Frangky Sahilatua, Lelaki dan Telaga. Sepertinya momen yang saya dapat sore ini merupakan visualisasi lagu tersebut.
Lelaki hanya berdiri, di tepian telaga
Menyusuri kensunyian hati, ada rindu dalam hatinya
Ada embun jatuh setitik, di ujung hatinya…
Tiba-tiba sebuah pikiran iseng terlintas. Kira-kira dia sedang memikirkan apa ya? Apakah dia sedang dirudung rindu sehingga membayangkan wajah kekasihnya seperti dalam lanjutan lagu Lelaki dan telaga tersebut?
Pada air ia berkaca, membayangkan kekasih
Bersandar pundak di sisinya, ranting jatuh air memecah
Di dalam lingkaran air, lelaki sendiri…
Senja di tepi telaga yang terletak di puncak bukit itu masih memamerkan cahaya keemasannya. Semburat jingga kemerahan membias ke atas telaga yang kadang berkecipak akibat gerakan serangga air. Ratusan capung berterbangan memenuhi udara. Dan lelaki itu masih tetap berdiri di sana. Menyaksikan mentari yang perlahan lindap di ufuk barat.
Rindu. Ya, mungkin rindu kata yang tepat untuk mengekspresikan isi hatinya. Mungkin dia tidak rindu kekasih tapi merindukan yang lain. Merindukan kehidupan yang lebih baik. Merindukan masa depan yang menyenangkan atau bahkan masa lalu yang sudah berubah menjadi kenangan.
Mendadak lelaki itu menoleh dan tersenyum. Saya yang sedari tadi mengamatinya merasa tertangkap basah. Perlahan dia berjalan mendekat ke arah saya. “Hei, ni bukan visualisasi lagi Lelaki dan Telaga. Karena aku tidak sendiri. Ada kamu di sini” ujarnya pelan. Dia pun lantas menggengam tangan saya erat. “Yuk pulang. Sudah sore!”
Kami pun bergegas turun. Meninggalkan mentari yang sudah jauh tergelincir di barat serta senja yang sudah berganti pekat. Lelaki, senja, dan telaga. What a perfect trilogy 😉
Ps: rupanya lelaki itu sendang merindukan aroma gunung, edelweis, dan kabut basah hihihi.
sangat inspiratif… 🙂
Siapa siiih..kenalin dong 🙂
Saya main nJogja tapi enggak di kenalin…. *siul-siul sambil memicingkan mata*
Hahahaha, abis kita mainnya sampe malam terus sih. Dia kan jam kunjungnya jam 5-7 hahaha.