Ranting-Ranting yang Berkisah di Hutan Pinus Pengger

Mata saya terpaku pada sebuah foto yang melintas di lini masa instagram. Perempuan bergaun merah sedang berdiri di bawah jalinan ribuan reranting lentur tanaman saliara (Lantana camara) yang membentuk kerucut. Sedangkan jauh di belakang nampak pendar cahaya warna-warni serupa kemilau lautan berlian yang membedaki wajah kota di kala malam. Pemandangan yang sangat mempesona dan membuat siapa saja terkesima.

Awalnya saya menyangka lokasi pengambilan gambar tersebut ada di tempat jauh. Setelah membaca caption saya akhirnya tahu bahwa tempat indah yang dikenal dengan nama Hutan Pinus Pengger itu ada di Jogja. Saya pun menelusuri tagar #pinuspengger di instagram dan menemukan puluhan ribu foto yang menggambarkan keindahan Pengger di kala senja.

U
Penelusuran dengan tagar #pinuspengger di Instagram

Sejak melihat gambar-gambar indah tersebut, saya pun memantapkan hati untuk mengunjungi tempat yang sedang menjadi primadona baru wisatawan. Sayangnya saya terlalu sombong untuk menjadi serupa. Saya tak terlalu tertarik bertandang ke Pengger di sore hari.

Saya justru membayangkan mendatangi Bukit Pengger di pagi hening, tatkala batang-batang pinus masih teguh dalam semadi. Dengan bertelanjang kaki, saya melangkah di atas tanah yang tertutup serasah basah. Sedangkan selubung kabut putih perlahan naik menjauhi permukaan bumi, laksana kepompong yang mulai membuka diri guna memunculkan wujud tercantiknya.

Tak lama kemudian akan terlihat raja matahari naik ke singgasana bersama larik-larik cahaya yang meluruhkan kabut. Ia menyergap melalui celah-celah pucuk pinus, mengacaukan pasukan halimun, dan menyingkapkan wajah Bukit Pengger secara utuh. Sebuah pagelaran orkestra pagi yang sempurna dari semesta.

Nyatanya itu semua hanya imaji. Saya terlalu malas untuk bangun pagi mendahului mentari dan memacu motor ke kawasan Dlingo, Kabupaten Bantul, tempat dimana Hutan Pinus Pengger berada. Saya memilih untuk meninggalkan rumah sekitar pukul 7.30 pagi dan tiba di Pengger satu setengah jam kemudian.

Dari rumah saya di kawasan Jogja utara, ada dua jalur yang bisa dilewati untuk mencapai lokasi. Yang pertama adalah melewali Jalan Imogiri dan terus naik ke arah Dlingo, sedangkan jalur kedua melewati Jalan Wonosari – Piyungan – Bukit Patuk – kemudian belok kanan menuju Dlingo. Saya memilih jalur dengan rute yang paling mudah dan bersahabat, yakni jalur kedua.

Meski hari masih pagi, mentari terasa menyengat di kulit. Ditambah pantulan panas dari aspal, arus udara terasa menindih dan memanggang tubuh. Tapi suasana segera berubah tatkala saya memasuki kawasan Hutan Pinus Pengger. Udara sejuk dan dingin langsung melingkupi sekujur tubuh. Laksana kulkas, kawasan hutan pinus ini mampu menciptakan iklim mikro di bentang alam yang terasa panas.

Saat berhenti di pos retribusi, seorang penjaga menyerahkan tiket.

“Berapa, mas?” tanya saya.

“Tujuh ribu, mbak” jawabnya dengan ramah. Saya pun menyodorkan uang pas, kemudian melajukan motor menuju tempat parkir yang mulai ramai dipadati pengunjung. Ternyata tiket masuk kawasan hutan pinus ini sangat murah. Rp 2.000 untuk motor dan Rp 2.500 untuk orang dewasa. Balita tidak dimasukkan dalam hitungan.

Saya kira saya akan menjadi satu dari segelintir orang yang menyambangi Pengger di kala pagi, tetapi dugaan saya salah besar. Pagi itu parkiran motor sudah dipenuhi kendaraan roda dua. Sedangkan di bagian bawah nampak beberapa bus pariwisata dan mobil dengan plat luar kota terparkir dengan rapi. Wow, saya cukup terkejut. Ternyata Pengger benar-benar populer.

Melangkah menyusuri jalanan di tengah hutan

Sebelum diresmikan sebagai wanawisata pada 7 April 2016, dulunya status Hutan Pinus Pengger adalah hutan produksi di bawah pengelolaan RPH (Resort Pengelolaan Hutan) Mangunan. Deretan pohon tusam alias Pinus merkusii yang ditanam di punggung bukit ini akan diambil getahnya. Tetapi pada tahun 2014, produksi getah pinus mulai berhenti. Hutan produksi ini kemudian dibiarkan terbengkalai begitu saja.

Pada tahun 2016, warga yang terinspirasi atas keberhasilan Hutan Pinus Mangunan sebagai salah satu destinasi wisata baru di Jogja mulai berinisiatif untuk membentuk Pokdarwis (Kelompok Sadar Wisata). Melihat potensi daerah yang ada, mereka ingin mewujudkan Hutan Pinus Pengger sebagai destinasi wisata baru. Rupanya inisiatif warga didukung oleh pihak RTH Mangunan. Hutan produksi yang sempat mati suri akhirnya dialihfungsikan menjadi wanawisata.

Berhubung sudah mendapuk dirinya sebagai tempat wisata, masyarakat pun mulai mempercantik tampilan hutan pinus pengger. Mereka melengkapi hutan pinus yang asri ini dengan beragam fasilitas yang memudahkan wisatawan seperti aula pertemuan, gazebo, gardu pandang, tempat ibadah, lokasi swafoto, camping ground, hingga kamar mandi yang sangat bersih untuk ukuran tempat wisata. Semua fasilitas itu bisa dilihat jelas pada peta kawasan yang terpasang di depan anak tangga.

Usai mengamati peta, saya pun menapakkan kaki menaiki anak tangga yang tersusun rapi. Semilir angin menggoyangkan pucuk-pucuk pinus, menciptakan dersik serupa alunan melodi. Orang-orang terlihat asyik dengan kegiatannya masing-masing. Ada yang bersantai di bangku kayu, ada yang bermain ayunan, ada yang berjalan di bawah rimbunnya pepohonan, dan tentu saja banyak yang melakukan pemotretan.

Bagi pecinta fotografi maupun pecinta selfie, Hutan Pinus Pengger ini memang tempat yang sangat cocok untuk mengambil gambar. Deretan pohon Pinus meskusii yang menjulang tinggi akan menjadi background foto yang indah. Bahkan buah dan daun pinus kering yang berserakan di lantai bumi pun bisa menjadi obyek gambar yang menarik.

Namun pesona Pengger tidak hanya berhenti sampai disitu. Tempat ini semakin istimewa dengan keberadaan 6 land art ciptaan seniman muda, Wisnu Ajitama. Pada tahun 2017, sepulang mengunjungi Pengger, Wisnu mendapatkan ide untuk menciptakan land art alias karya seni yang diciptakan di alam dan menggunakan material alami.

Proses panjang penciptaan karya pun dimulai. Sejumlah besar orang dan komunitas bergabung untuk mewujudkan karya yang kelak menjadi tengara Hutan Pinus Pengger. Pada tahun yang sama, 6 karya land art pun tercipta, mereka diberi nama Asuma Padukarasa,  Sabrang Anindha, Marmati, Pancawarna, Cetha Abhipraya, dan Reresik Jagat.

Bagi orang yang tidak mengerti, land art yang dibuat dari jalinan rating tanaman saliara yang lentur ini ini dianggap sebagai spot selfie semata. Padahal sejatinya karya-karya tersebut memiliki makna yang mendalam dan saling berkesinambungan.

Asuma.Padukarasa, gerbang pembuka
Cetha Abhipraya
Reresik Jagat

Saat memasuki kawasan hutan, land art pertama yang dijumpai adalah Asuma Padukarasa. Berbentuk menyerupai gapura, karya ini seolah menjadi pintu gerbang yang menyambut kedatangan wisatawan. “Selamat datang di hutan pinus nan tenang” begitu sapanya. Saya pun memasuki Asuma Padukarasa dan berusaha mengambil gambar di sana, sayangnya gambar yang dihasilkan tidak terlalu bagus, maklum fotografer amatir.

Dari land art pertama ini wisatawan bisa melanjutkan perjalanan menjumpai land art berikutnya seperti Sabrang Anidha yang memberikan pesan untuk peduli kepada sesama, Marmati yang mengingatkan akan kematian, Cetta Abhipraya yang mengajarkan manusia untuk bersungguh-sungguh menuntut ilmu dan tak kikir membaginya, Reresik Jagat yang mengingatkan kita untuk selalu menjaga kebersihan alam dan seisinya, serta land art paling iconic berbentuk tangan raksasa yang terbuka. Karya yang bernama Pancawara itu memiliki pesan supaya kita terus melindungi dan menjaga semesta demi kehidupan anak cucu kita kelak.

Pancawara

Saya benar-benar kagum dengan kepiawaian Wisnu Ajitama dalam mencipta karya. Dengan keberadaan land art ini, Hutan Pinus Pengger tidak hanya menjadi wanawisata biasa tetapi sekaligus menjadi galeri seni. Instalasi seni itu menjadi bukti bahwa karya manusia bisa berpadu harmoni dengan alam tanpa harus menafikan estetika.

Meski tidak bisa mengambil gambar di semua land art yang tersedia karena banyak orang yang antri untuk berfoto, saya benar-benar senang dengan perjalanan singkat ke Hutan Pinus Pengger. Menurut saya inilah pariwisata berbasis warga yang sesungguhnya. Pariwisata yang digerakkan warga, dijaga dan dikelola dengan sangat baik, serta memberikan kesan dan pengalaman berbeda untuk para pengunjung.

Hutan Pinus Pengger bukan destinasi digital biasa yang hanya menawarkan spot-spot foto instagenic tanpa arti yang monoton dan nyaris sama di semua tempat. Tempat ini menyuguhkan sesuatu yang baru, jalinan ranting yang sarat makna dan kaya kisah.

Puas bersantai dan mengamati semua karya seni yang ada, saya pun melangkah kembali melewati jalanan berbatu. Cuaca yang tadinya cerah berubah mendung dan aroma hujan mulai menguar. Sesaat sebelum saya meninggalkan kawasan hutan, angin bertiup dengan kencang, membuat daun-daun kering dan buah pinus berguguran serupa confetti yang mengakhiri sebuah pesta.

IMG-20181103-WA0031-02(1)

Catatan Pejalan:

  • Hutan Pinus Pengger terletak di Jalan Dlingo – Patuk, Terong, Dlingo, Bantul, DIY. Rute termudahnya adalah melewati Jalan Wonosari – Piyungan – Bukit Patuk – lantas belok kanan menuju Dlingo.
  • Tiket masuk Rp 2.500/orang, motor Rp 2.000, mobil Rp 5.000
  • Tempat wisata ini buka setiap hari mulai pukul 06.00 WIB – 23.00 WIB
  • Untuk berfoto di land art tidak ada tarif yang diberlakukan, hanya saja terdapat kotak uang yang boleh diisi seikhlasnya.
  • Jika Anda berkunjung di sore hari dan ingin berfoto dengan background lampu kota tetapi kamera tidak mumpuni, di tempat ini terdapat jasa fotografer dengan tarif murah meriah. Silakan dicoba!
  • Semua dana yang masuk ke kawasan ini (retribusi, toilet, sewa tempat) dikelola oleh warga dan 30%-nya akan disetorkan kepada pengelola RTH.
Elisabeth Murni
Elisabeth Murni

Ibu Renjana | Buruh partikelir paruh waktu | Sesekali bepergian dan bertualang.

Articles: 250

51 Comments

  1. Nama-nama land art-nya bagus buat nama orang. Aku suka Asuma Padukarasa, Sabrang Anindha, dan Cetha Abhipraya. Dear future kids, those will be your names. Hahahaha….

  2. Aku kesini sendiri malam hari, hanya nonton orang saling berganti mencari posenfoto terbaik. siang yang panas sepertinya enak disini, aku rindu jogja

    • Awalnya aku juga pikir itu emang dibangun sebagai spot selfie biasa, ternyata enggak. Itu emang karya seni yang dibangun khusus. Mas Wisnu ini juga bikin land art ginian di taman di Korea lho, bagus banget.

  3. Sayaaa sudah pernah ke Pinus Pengger ini hehehe 😀

    Waktu itu malem-malem sih, bagus banget. Tapi pas mau foto-foto di spot-spotnya gitu, rameee banget parah. Mana pake nomor antrian gitu -_-

    • Ahahahahaha, itulah alasan saya nggak datang ke sana sore atau malam, mas. Mesti rame n antri banget yang foto. Mau leyeh-leyeh di hutan pinus malam hari kok yo rodo wagu, jadi kupilih pagi saja hehe.

    • Jadi penasaran nih gara-gara banyak yang bilang kalau sorean ngantri. Tapi wajar sih, kemarin pagi aja di beberapa tempat ngantri kok. Makanya aku nggak foto di tangan. Males lama dan nggak pede kalo foto-foto dilihatin orang-orang. Gak bakat model pancen ahahaha.

  4. Aku udah beberapa kali ke sini, selalu sore karena sunsetnya cakep banget di sini. Tapi biarpun udah beberapa kali belum pernah antri foto di piramid dan tangannya itu, selalu antri dan aku males antri. Mending makan popmie diwarungnya :))

  5. Selalu penasaran sama hutan pinus tapi belum ada kesempatan untuk pergi ke sana. Ternyata masing-masing land art nya punya nama yang berbeda-beda, ya? Baru tau sekarang…

  6. Meski sering dengar namanya, tapi baru kali ini aku baca ulasan lengkapnya.. Ternyata, di sana tidak cuma ada spot foto aja, ada fasilitas lainnya, qu baru tau…

  7. kemaren sempet ikut acara disini, dan kerennya pengelola melarang penggunaan plastik untuk stand booth pameran dan tableware, bahkan aqua botol pun nggak boleh. Bener-bener dikelola untuk jadi kawasan wisata yang eco friendly!

  8. Awal-awalnya udah mbatin: Mantep banget Mbak Sha ke sana pagi-pagi kala masih berkabut dll, sungguh syahdu. Pas baca terusannya: ternyata hanya imaji, jebul terlalu malas ke sana pagi-pagii… wuooo :p

    Mbak, sebagai warga mBantul yang lumayan sering keluyuran ke Gunungkidul lewat jalur sana (jalan depan Pinus Pengger) sendirian, aku juga agak tergumun-gumun akan perkembangannya yang pesat. Lha dari bener-bener hutan, terus minggu berikutnya ada warga yang kerja bakti mbabati rumput, buat pagar, tau-tau jadi tempat wisata ramaii, terus lewat lagi ehhhh udah banyak warung makan di pinggir jalan, toilet, penjaja suvenir po oleh-oleh gitu.

    Dulunya tempat itu sepiii gelap gulita. Alhamdulillah kalau warga sekitar ikut menikmati buahnya 🙂
    *malah syurhat panjang, kebiasaannn*

  9. Suara pohon pinus saat terkena angin…ah, bikin rindu ketinggian.

    Nah, mungkin yang patut di contoh oleh penggerak / pengelola pariwisata di daerah lain adalah saat menggarap konsep instalasi seni yang sering dijadikan spot selfie seperti ini. Nggak asal copy–paste dan “sak-sak e”. Nama instalasinya bagus-bagus, mbak.

    • Syuuut, syuuuut, enak banget lah dengar suara pinus tertiup angin. Melenakan.

      Iya nih mas, tempat selfie boleh, tapi yang nyeni dan bermakna. Bukan asal pasang dan tempel. Terus generik, dimana-mana ada.

  10. Hi mba,

    Salam kenal 😀 . Waktu itu main ke sini jam 8an pagi, cuaca masih adem dan sepi pengunjung jadi bebas berfoto :D. Banyak hutan pinus di sekitaran Imogiri ternyata ya, tapi mungkin ini yang cukup ramai karena cukup gampang diakses.

    • Terima kasih, mas. Saya tersanjung hehehe.
      Iya, selama ini orang mikirnya hanya tempat selfie seperti yang lainnya, padahal instalasi seni tersebut kaya akan cerita dan memiliki makna.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *