Halo perkenalkan teman saya yang namanya Coki. Dulu ditebus dari lapak di Jalan Mataram dekat Malioboro dengan harga tujuh puluh. Dibeli gara-gara sepatu lama sudah rusak. Lantas Si Coki menjadi teman setia saat jalan kemana-mana, dari pantai, gunung, candi, hingga perut bumi.
Seingat saya perjalanan perdana Coki bermulai di Semarang. Ikut ciamsi di Klenteng Sam Poo Kong, ibadah Minggu Palma di Gereja Blenduk, hingga turut berdoa di Masjid Agung Jawa Tengah. Kemudian Si Coki juga menjadi teman setia penahan jari-jari kaki yang membeku saat liputan di Dieng berhari-hari. Bahkan Coki juga pernah pergi ke ibukota juga naik pesawat terbang. Tapi dia tidak suka, katanya lebih asyik naik bis kota, kereta, atau si motor supra.
Jam terbang si Coki lumayan tinggi. Menempuh jalanan yang berulang-ulang dan tak pernah bosan. Hingga akhirnya dalam usianya yang baru menginjak dua, kondisinya sangat mengenaskan. Bolong sana sini dan tak bisa lagi memberikan kehangatan bagi si pemilik kaki. Meski Coki belum sepenuhnya mati, tapi dia perlu pengganti.
Akhirnya diliriklah Merry. Si seksi yang juga ditemukan di deretan lapak yang sama saat dulu menebus Coki. Cukup keluar kocek delapan puluh, Merry sudah boleh dibawa pulang. Berbeda dengan Coki yang bertubuh gendut, Merry ini ramping di ujungnya sehingga kadang membuat kaki nyeri. Tapi tak mengapa, namanya juga cinta.
Perjalanan perdana Merry adalah kondangan ke Wonogiri. Lantas dia langsung bergaya di Puncak Gunung Andong. Selepas dari Gunung Andong dia lanjut melipir ke sebuah embung kecil di Lereng Sindoro. Perjalanan sorang-sorang. Merry bahagia, karena dia bertemu banyak bunga dan cinta. Oya, berhubung seksi, si Merry sering diajak ke gereja dan menemui walikota serta wakilnya.
Usia Merry belum tua. Belum genap dua purnama. Tapi entah mengapa, belum lama ini terlihat luka kecil ditelapaknya. Apakah itu pertanda Merry juga akan segera pergi? Duh, saya bersalah. Sepertinya Merry terlalu sering diajak berlari kencang. Mungkin seharusnya dia hanya boleh berjalan pelan. Semoga Merry tidak cepat mati seperti Coki. Semoga umurnya panjang, sepanjang Ricky.
Nah, Ricky ini yang paling bandel. Tua-tua keladi, semakin tua makin menjadi. Usianya sudah empat atau bahkan lima? Saking tuanya saya sendiri lupa. Dulu ditebus dari toko peralatan outdoor di Jalan Gejayan. Harganya hanya tujuh lima. Lebih murah dibanding dua kawannya. Tapi justru lebih tangguh.
Dia benar-benar sudah jalan kemana-mana. Naik kereta, naik bis kota, naik motor, naik pesawat, naik kapal, naik sepeda, bahkan jalan kaki berhari-hari. Pernah juga dia dipinjam kawan dengan ukuran kaki yang jauh lebih besar. Dia melakoninya dengan senang. Dia tak pernah mengeluh. Sepertinya dia memang diciptakan untuk menjadi tangguh. Hingga kini kondisinya pun masih baik.
Saya sayang Ricky. Tapi terkadang bosan juga memakai dia terus-terusan. Eh kalian jangan kasih tau soal ini ke Ricky ya. Takutnya nanti dia marah, lantas pergi jauh atau malah mati.
Motret kaki itu asik dan perlu! Haha
Lagi gak ada ide buat ngeblog. AKhirnya nulis gak jelas gini haha.
Gak perlu kamu omongin, Mbak, aku udah tahu! Haha
anakku yg cewek juga sukanya sepatu jenis2 Merry dan Choky itu… seru juga ya alas kaki punya banyak kisah menarik 🙂
Aha, si Dela ya bu? tos dulu sama Dela deh hehe. Iya, pengen deh bikin cerita soal benda-benda 🙂
Iya.. di Della, hihi iya nih..aku mau nulis ttng anting gak jadi2.. pdhal fotonya sdh disiapkan juga
sukaaa sama postingan ini! jadi inget kebiasaan saya juga yang tiap pergi kemana pasti fotoin sepatu atau kalau nggak ya tangan yang membentuk huruf V. Hihi. Ditunggu Dongeng Alas Kaki part 2 yaaa 😉
-Jojo
wah… namanya Merry, sama kayak nama sepeda saya. 😀
akh abang ini ada-ada aja..seru dah menceritakan dan motret apa yang tak terpikirkan hehe
Hehehehe 🙂
Lucu kisahnay, tapi sepatu emang bagian dari perjalanan kita. 🙂
walaupun tulisannya ga karuan, tapi keren kok bahasanya..heheheee..
salam kenal dan sukses selalu untuk anda.