Desember di Manokwari

Saya belum pernah sekalipun mencicipi Desember di tanah Jauh. Desember selalu saja saya habiskan di tanah kelahiran Wonosobo atau di kota tempat saya tinggal saya sekarang, Jogja. Paling sekali atau dua kali saat Desember melancong ke Ibukota.

Desember di tempat-tempat yang saya sebutkan suasananya biasa-biasa saja. Selain gerimis yang kerap turun di sore hari, rasanya tak ada hal menarik dan membekas.

Lantas tibalah hari itu. Hari di mana saya mengalami sesuatu untuk pertama kalinya, di usia dewasa. Ya, saya terbang ke Manokwari pada bulan desember 2018. Lima hari jelang natal.

Pagi hari, saat matahari belum tumbuh tinggi, pesawat jenis bombardier yang saya naiki landing dengan mulus di Bandar Udara Rendani, Manokwari. Langit terlihat biru cerah dengan sedikit gulungan awan yang menyerupai bulu domba.

Turun dari pesawat, saya disambut shuttle bus tua yang mengantarkan penumpang menuju gedung bandara. Di kotak besi yang bergoyang itu terdengar lantang lagu lawas karya Merle Haggard yang kerap saya dengar di masa kanak.

Somewhere between your heart and mine
There’s a window that I can’t see through
There’s a wall so high it reaches the sky
Somewhere between me and you.

Aiiiish, sungguh pagi yang penuh nostalgia dan begitu puitik.

***

Selain tentang Patung Yesus Memberkati di Pulau Mansinam, saya tak memiliki bayangan apa pun soal Manokwari. Saya benar-benar memulai perjalanan ini dengan kekosongan, ketidaktahuan. Tak berharap banyak.

Saya hanya berjalan dan mencoba menemukan hal-hal menarik untuk beberapa hari ke depan. Nyatanya, berjalan tanpa ekspektasi justru membawa saya menemukan hal-hal baru.

Sepanjang perjalanan dari Bandara menuju hotel, mata saya menikmati lekuk sudut kota. Mulai dari kawasan perkampungan, toko-toko, pasar, gedung perkantoran, hingga lalu lalang mobil bagus yang membawa sembako serta babi.

Sejak awal berangkat saya sudah tahu bahwa Manokwari mendapuk dirinya sebagai kota injil. Hal ini berdasar pada sejarah Manokwari (Pulau Mansinam) yang menjadi tempat dimana Injil disebarkan untuk pertama kalinya di Tanah Papua. Karena itu sejak awal saya sudah mengira bahwa saya akan menjumpai banyak gereja di tempat ini.

Meski sudah mengira-ira, saya tetap saja terkejut. Saya tak menyangka bahwa gereja yang ada di ibukota provinsi Papua Barat bisa sebanyak ini. Mulai dari gereja berukuran kecil, gereja di dalam ruko, gereja berukuran sedang, hingga gereja besar dengan pilar-pilar megah semua ada di sini. Jaraknya pun sangat berdekatan.

Di Jawa, yang banyak saya jumpai itu masjid dan mushola, tapi di Manokwari adalah gereja. Dalam jarak 2 km saja entah sudah berapa belas gereja yang saya jumpai dari beragam denominasi. Nyaris tiap sudut jalan ada gereja. Tiba-tiba pikiran iseng melintas, ini gereja kalau minggu penuh jemaat apa ndak ya?

Berhubung saya datang menjelang natal, semua gereja yang saya lihat nampak bersolek mempercantik diri. Semakin masuk ke dalam kota, saya melihat bukan hanya gereja saja yang berhias. Toko-toko, gedung perkantoran, tempat makan, hingga hotel, semua berhias dengan ornament natal. Mulai dari pohon terang, lampur dan pita warna-warni, serta crescent moon. Lagu natal juga terdengar dari segala sudut.

Suasana natal di salah satu sudut penginapan

Meski saya Nasrani, jujur pemandangan ini benar-benar membuat saya terkejut. Seumur-umur, baru pertama kali inilah saya melihat kota yang bersolek menjelang natal. Suasana natal sungguh terasa dari segala penjuru.

Hehehe, ternyata seperti ini ya rasanya lebaran, di mana setiap sudut kota juga turut merayakan.

Hal lain yang juga baru saya jumpai untuk pertama kalinya adalah pemandangan gubuh-gubug kecil di depan rumah atau di halaman. Di dalam gubug-gubug ini terdapat semacam palungan kecil, pohon terang, dan aneka hiasan. Tentu saja tak lupa lampu warna-warni.

Pohon terang yang ada di gubug-gubug ini terbuat dari macam-macam, ada yang dari band bekas, botol air mineral, ranting, dan masih banyak lagi. Di beberapa puncak pohon terang terdapat bendera Merah Putih sebagai pengganti bintang fajar.

Melihat pemandangan yang “tak lazim” bagi saya ini membuat saya bertanya-tanya pada Bang Aldi, driver yang menjemput dan menemani saya hari itu. Menurut Bang Aldi, gubug-gubug itu memang dibangun warga jelang natal. Dulu nyaris di tiap rumah ada. Namun sekarang tradisi itu sudah mulai meredup.

Belum juga berhenti ketakjuban saya, tiba-tiba di arah yang berlawanan terdapat parade. Awalnya saya pikir ini adalah parade budaya atau semacamnya. Ternyata saya salah. Ini adalah parade Sinterklas. Iring-iringan mobil yang dihias pohon natal dan pita warna-warni memadati jalan raya.

Di atas mobil terdapat orang-orang berkostum sinterklas dan tumpukan kado. Ibu-ibu memberitakan firman Tuhan melalui pelantang dari dalam mobil. Anak-anak berwajah polos tertawa riang. Lagu natal berdentum tanpa henti.

Jumlah kendaraan yang ikut parade ini cukup banyak karena membuat antrian yang panjang. Ternyata, parade sinterklas berkeliling kota merupakan tradisi yang berlangsung tiap tahun enjelang natal. Kegiatan ini diinisiasi oleh gereja-gereja, kemudian diakhiri dengan membagikan kado untuk anak-anak.

Kalau berdasarkan cerita dari Aqied, kawan saya yang menghabiskan masa SD di Sorong, ditempatnya dulu juga selalu ada Sinterklas yang berkeliling jelang natal. Tak hanya sinterklas, kadang juga ada Piet Hitam yang akan mencari anak-anak nakal guna dimasukkan dalam karung. Meski setelah tertangkap si anak akan dilepaskan lagi dan diberi hadiah oleh Sinterklas, tetap saja kedatangan Piet Hitam membuat anak kecil menangis menjerit-jerit.

Wah saya jadi berpikir, menyenangkan sekali ya pengalaman Natal anak-anak di Papua ini.

***

Desember tahun ini saya tidak ke mana-mana. Sehari-hari hanya berada di depan layar komputer mengetik ini itu seperti biasa. Tak ada pohon terang maupun ornamen natal yang dipasang di rumah. Natal tinggal hitungan hari, tapi suasananya tidak terasa, hahaha.

Siang ini saya rindu natalan di Manokwari. Rindu merasakan suasana yang ramai dan penuh warna. Benar sih, inti dari natal bukan pada perayaannya, tapi ada dalam hati kita. Tapi jika bisa mendapatkan dua-duanya mengapa enggak?  Ye kan?

Jadiii, tahun ini mau Natalan di mana?

Kaki merapi, 13 Desember 2019
Postingan perdana di bulan desember dan semoga bukan yang terakhir

 

Elisabeth Murni
Elisabeth Murni

Ibu Renjana | Buruh partikelir paruh waktu | Sesekali bepergian dan bertualang.

Articles: 250

19 Comments

  1. Aku selalu suka cara bercerita Mbak Elsa. Kebayang anak2 pasti senang natalan di Wanokwari. Coba natal di Eropa pasti lebih seru lagi tampaknya. Aku lihat foto2 temenku yg tinggal di LN sih. Beneran bersalju gitu di pohon natalnya

    • Ahahaha, iya nih mbak. Natalan momennye benar-benar kerasa seluruh penjuru macam Lebaran gitu. Sama pun, lihat foto2 kawan yang di Jepang, pohon natal di mana-mana. Seru. Semoga suatu saat bisa nyicip natalan di negeri jauh.

    • Bener mbak. Pas di sana aku sempat ngobrol banyak sama temanku yang anak muslim. Kata dia pas Lebaran suasananya juga rame, ada takbiran juga. Meski masjid bisa dihitung jari tapi tetep suasana lebaran meriah.

  2. euforianya kaya lebaran di jawa ya?? pengen juga deh ngerasain suasana natal di manokwari atau daerah mayoritas nasrani lainnya, walaupun euforianya mirip lebaran, tapi tentunya beda suasana 😀 .. Dulu ngerasain 2x natal di Kupang tapi rasanya enggak semeriah di Manokwari.. cmiiw..

    -Traveler Paruh Waktu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *