Orang-orang memanggilnya Dita. Satu-satunya yang berjenis kelamin perempuan sehingga menjadi kesayangan. Saya pun penasaran untuk bertemu langsung dengannya. Ditemani seorang kawan, saya berjalan menuju tempat tinggalnya yang tak jauh dari tepi sungai kecil yang mengalir membelah kaki Gunung Tajam.
Begitu berjumpa, dia tak mengeluarkan suara. Bola matanya menatap saya lekat-lekat. Melotot tajam. Saya mencoba tersenyum menyapa. Tapi dia tetap bergeming, tak berkedip. Tak ada senyum sedikitpun. Kedua tangan mungilnya memeluk dahan pohon erat-erat. Seolah tak ingin terpisah. Sepintas dia mirip boneka mungil yang tak bernyawa.
Saya maklum. Saya memang salah. Seharusnya saya membiarkan dia beristirahat dengan tenang di siang hari. Tapi saya justru datang mengganggu dan menjadikannya sebagai objek fotografi. “Kalau siang hari dia memang seperti itu. Tapi kalau malam dia akan melompat dari satu dahan ke dahan lainnya dengan lincah. Karena itu kami buat kandang yang tinggi supaya dia tidak bisa keluar,” terang Bang Ari.
Itulah perkenalan singkat saya dengan Dita, sekaligus perkenalan pertama dengan hewan yang tubuhnya hanya sebesar kepalan tangan orang dewasa, Tarsius. Meski singkat, saya telah jatuh cinta. Perkenalan itu sangat berkesan sehingga membuat saya memutuskan untuk mengunjunginya lagi, 9 bulan kemudian.
***
Malam itu tubuh saya benar-benar lelah. Setelah sehari sebelumnya menyeberang dari Bangka menuju Belitung dan sehari sesudahnya dihabiskan dengan snorkeling di Pulau Kepayang, yang saya inginkan hanyalah tidur panjang tanpa gangguan.
Tapi keinginan tinggal keinginan. Sekitar pukul 22.30 WIB, Bang Ade, Bang Eko, dan Hafizh mengetuk pintu kantor BelAdvent tempat saya menginap. Rupanya mereka hendak meluncur ke Batu Mentas. Wohooo, mendengar kata Batu Mentas saya pun langsung bangun dan memilih bergabung bersama mereka. Mau tau alasannya? Dita tinggal di Batu Mentas.
Dalam pekat malam, saya membonceng Bang Eko membelah jalan utama Pulau Belitong yang sangat sepi. Sedangkan Bang Ade mengendarai jeep tuanya bersama Havizh dan Totos. Jalanan sangat sunyi, hanya ada satu dua kendaraan yang berpapasan. Orang-orang tidak ada yang terlihat di luar rumah. Pintu-pintu sepertinya terkunci.
“Kemarin ada yang mati gantung diri di rumah itu,”ย kata Bang Eko sambil menunjukkan sebuah rumah kosong di kanan jalan yang dilingkari garis Polisi. Sial, bulu kuduk saya meremang seketika. Pantas, kemarin di pelabuhan saya dengar orang-orang berbincang soal itu. Saya pun meminta Bang Eko untuk menggeber motornya lebih kencang.
Jalang pukul 23.00 kami memasuki daerah Badau, kemudian motor belok kiri melewati jalan yang membelah ladang dan hutan menuju arah Batu Mentas. Terletak di kaki Gunung Tajam, kawasan Batu Mentas kini dikembangkan menjadi taman wisata sekaligus sanctuary bagi hewan endemik Bangka Belitung, Tarsius bancanus saltator.
Sebelum saya datang ke Belitung pada pertengahan tahun 2012, setahu saya primata terkecil di dunia tersebut hanya ada di Bitung, Sulawesi Utara. Namun setelah bertemu kawan-kawan Komunitas Pecinta Lingkungan Belitung (KPLB), saya jadi tahu bahwa Tarsius juga ada di Belitung. Bahkan sejak pemekaran provinsi, Tarsius bancanus saltataor yang dalam bahasa lokal dikenal dengan nama Pelilean atau Mentilin ini dijadikan fauna identitas Provinsi Bangka Belitung.
Gunung Tajam adalah habitat hewan endemik yang sangat setia ini. Bagaimana tidak setia? Seumur hidupnya tarsius hanya memiliki satu pasangan. Jika kelak pasangannya mati maka tarsius tidak akan mencari pasangan pengganti. Dia akan tetap sendiri hingga menyusul mati pasangannya.
***
Tak berapa lama kami sampai di Batu Mentas. Suasana gelap total, genset sudah dipadamkan sedari tadi. Bayangan pohon terlihat bergoyang tertiup angin. Angin berdesir menggesek dedaunan. Gemericik air sungai yang mengalir berpadu dengan derik serangga hutan. Saya benar-benar menikmati suasana malam di hutan ini.
Tetapi suasana itu tidak bertahan lama, suara jeep Bang Ade terdengar meraung di belakang dan lampunya menyorot pepohonan. Mendadak saya teringat film-film horor dimana ada mobil dengan lampu menyala di tengah hutan, sinarnya lampunya membias ke segala penjuru. Dahan-dahan pohon pun menyala dalam gelap dan bayangannya terlihat memanjang. Mistis namun penuh magi.
Mengetahui kedatangan kami, penjaga Batu Mentas lantas menyalakan genset. Kami pun segera memindahkan barang-barang dari mobil ke aula terbuka yang terletak tepat di tepi sungai. Malam yang semula sepi berubah menjadi ramai. Orang-orang di Batu Mentas semua bangun dan bergabung dalam perbincangan yang penuh tawa.
Lelah berbincang saya memilih merebahkan badan di sofa buluk sambil berselimutkan sleeping bag. Orang-orang masih terus ngobrol dan bernyanyi hingga dini hari. Suara merdu Hafizh dan gemericik sungai benar-benar menjadi lulaby. Saya lupa, bahwa tujuan utama saya ke Batu Mentas adalah untuk menjenguk Dita dan melihatnya kala malam.
***
Keesokan harinya, saya bangun dengan kepala yang sedikit berat. Sesaat saya lupa sedang berada di mana. Begitu melirik ke sebelah kiri dan mendapati ada sungai jernih yang mengalir saya pun langsung ingat bahwa saya sedang di Batu Mentas.
Bergegas saya bangkit dari sofa, melipat sleeping bag, lantas berjalan meninggalkan aula. Udara pagi itu sangat segar. Saya menghirup nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Saya biarkan berton-ton udara bersih menyegarkan paru-paru dan menghilangkan pening kepala. Cuitan burung menyambut pagi. Tak ada deru motor, tak ada bising kendaraan, tak ada teriakan gaduh, andai tiap pagi bisa sedamai ini.
Saya berjalan pelan, berusaha mereguk tiap detik waktu sebaik-baiknya. Srek, srek, srek. Suara sapu lidi yang beradu dengan tanah dan tumpukan dedaunan terdengar di kejauhan. Rupanya bocah-bocah yang sedang PKL di Batu Mentas sudah bangun lebih dulu dan melakukan aktivitasnya.
Sebenarnya saya ingin bergegas menuju tempat penangkaran tarsius. Tapi jernihnya air sungai yang bersumber dari puncak Gunung Tajam terdengar memanggil-manggil untuk dihampiri. Saya pun memilih untuk menuruni tepian sungai, mencelupkan kaki ke air yang dingin, dan mengambil air dengan tangan untuk membasuh wajah. Segaaaaar.
Usai bermain di sungai, saya beranjak menuju dapur beratap rumbia. Mak Roh terlihat sedang memasak dan orang-orang yang tadi masih tidur sudah bangun sambil memegang gelas kopi masing-masing. “Ngopi-ngopi dulu sini,” kata Bang Eko sambil mengangkat gelas kopinya yang mengeluarkan aroma harum. Saya menggeleng.
“Saya pengen lihat Dita,”ย kata saya. Bang Ade yang sedang meminum kopinya mendadak menatap saya, lantas berujar “Oh lupa bilang, Dita sudah almarhum. Sekarang sebagai gantinya ada Benji. Cowok. Tapi dia lebih fotogenic kok,” katanya menjelaskan.
Mendengar kabar tersebut mendadak saya merasa sedih. Rupanya kedatangan saya untuk menemui Dita sia-sia. Beberapa waktu lalu Dita sempat stress dan berakhir tidak mau makan, kemudian meninggal.
Ya, hewan yang bisa memutar kepalanya hingga 180 derajat itu memang mudah stress. Oleh karena itu tarsius termasuk satwa yang sulit ditangkarkan. “Ini yang menjadi tantangan kita dalam penangkaran tarsius, hewan nocturnal itu mudah stress”ย kata Bang Ade.
Mendadak saya ingat perbincangan dengan Bang Budi tahun sebelumnya. Salah satu alasan didirikannya Taman Wisata Batu Mentas adalah untuk melindungi habitat hewan tersebut dari pembalakan liar yang marak terjadi. Selain itu juga untuk melindungi populasi tarsius sendiri.
Menurut Bang Budi, dulu tarsius dianggap sebagai hewan pembawa sial. Jika orang bertemu hewan tersebut di dalam hutan maka itu dipercayai sebagau pertanda buruk. Karena itu tiap bertemu tarsius pasti akan dibunuh. Setelah melakukan sosialisasi dan pendekatan kepada masyarakat bahwa tarsius adalah hewan yang dilindungi serta mitos tersebut salam, kini tarsius tidak lagi diburu.
“Penangkaran ini bertujuan untuk mengenalkan tarsius kepada pengunjung. Kalau tidak ada yang ditangkarkan atau dikandangkan, pengunjung Batu Mentas akan sulit menemukannya karena tarsius kalau siang hari ngumpet. Tapi ya kita sadar resikonya, yaitu tarsius mudah stress dan bisa mati. Apalagi tarsius betina,” jelas Bang Budi panjang lebar.
Fiuh, entah mengapa mengingat perbincangan itu dan tau fakta bahwa Dita sudah meninggal mendadak saya malas menemui Benji. Saya tidak ingin mengganggu waktu istirahat Benji. Pasti dia sudah capek melompat dan beraktivitas semalaman dan kini butuh beristirahat. Lagipula tujuan utama saya adalah menjenguk Dita, bukan Benji.
Pagi itu, di antara sinar mentari yang menelusup melalui celah-celah pepohonan, di antara gemericik air, di antara cuitan burung, di tengah hutan tropis yang sejuk, saya merasakan sedihnya kehilangan cinta pertama.
ditaaaa ada salam dari Bandung ๐
Kalo manusia, yang gampang stres itu adalah golongan darah A. Apa mungkin Dita bergolongan darah AZ?
Kidding.
Anyway, salam kenal! (^_^)
Mba Sha…. Ketemu Tuk Bayan Tula ngga…?
Salam buat Aling…
Foto pertama pakai flash kah…? hewan nocturnal kalo ngga salah matanya sangat peka cahaya. kasihan aja mata segede itu menerima power cahaya… IMHO loh…
Tolong dong kalo nulis nama ilmiah latin kasih garis bawah atau condongin ke kanan… malu donk punya teman biologi,,,
Oh ya… ketemu aling atau Zaskia Nurmala ngga… salam ya sebelum di dahului Ikal dan Arai,,,
lestarikan tarsius.. jangan sampai nanti jadi mitos ๐
Numpang jempol aja… ๐
Turut prihatin, Sash. ๐
Hai Sash salam kenal! Saya Shelly dari Jakarta, saya ada rencana Belitung dan Batu Mentas akhir pekan ini, nah saya butuh info nih ๐
Mau nanya apakah diijinkan dan aman untuk camping di hutan Batu Mentas? Terima kasih yaa ๐
Halo salam kenal. Setahu saya hutan di Batu Mentas aman ya. Saat ini Batu Mentas dikelola oleh Belitung Adventure. Jika ingin camping disana ijin saja dengan pengelolanya, saya rasa bisa. Silahkan kontak twitter @adeafrilian
Batu Mentas itu di Belitung ya…..
mohon infonya gan
iya ๐
Jadi siapakah yang saya temui ketika berkunjung ke Batu Mentas, apakah si Menji?
Saya suka banget sama suasana Batu Mentas, kelak saya akan kembali lagi kesana dan menjelajahi lebih luas lagi.
salam,
catur