Berakhir Pekan di Jazz Atas Awan Bareng Sekawan & Friends

Berawal dari cuitan yang muncul di lini masa, saya yang sedang mencari informasi soal pelaksanaan Dieng Culture Festival pun akhirnya tahu bahwa gelaran DCF tahun ini akan berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, yakni adanya pagelaran Jazz Atas Awan.

Ya, Jazz di Atas Awan. Rupanya tahun ini sebagai gong penutup rangkaian DCF akan ada pagelaran Jazz Atas Awan. Iseng, saya pun meneruskan informasi kepada Sekawan & Friends atau yang dengan labilnya mengganti nama menjadi SNF Band (keplak Yogi haha). Mereka pun spontan menanggapi dan menyatakan bersedia main di Jazz Atas Awan, bahkan anak-anak JFU juga menyatakan kesediaannya.

Pada Minggu (30/6) sore yang mendung kami berdelapan berangkat dari Wonosobo menuju Dieng. “Dewe koyo artis lagi tur yo?” kata Yesa yang duduk di depan mendampingi Niel. Saya terkikik geli. Ya, ini benar-benar serasa selebritis yang sedang tur keliling kota demi kota. Setelah sabtu malam main di Loenpia Jazz Semarang, dini hari sampai di Wonosobo untuk main di gereja, sorenya tancap gas ke Jazz Atas Awan Dieng dan senin paginya pukul 11 ada beberapa personil yang harus masuk kuliah.

Saya tau kondisi fisik mereka lelah. Namun sepertinya pesona Dieng membuat mereka begitu bersemangat. Perjalanan Wonosobo Dieng yang menghabiskan waktu hampir 3 jam gara-gara jalur terdekat putus akibat longsor tak membuat mereka kehabisan energi. Sepanjang perjalanan dengan medan yang eksotis namun mengerikan itu kami masih punya banyak energi untuk pekok-pekokan dan saling membully.

“Wah, ngopo yo kok kene cewek’e ayu-ayu,” celetuk Yesa saat kami melewati daerah perumahan di Karangkobar.

“Soale hawane adem Yes. Nek adem otakmu mengkeret, dadi kabeh ketok ayu,” jawab Jalu yang membuat kami terbahak. Njuk opo hubungane jal?

Di tengah perjalanan, mendadak ponsel Niel – yang kali itu bertugas sebagai sopir, sekaligus manager, sekaligus, tukang angkut-angkut, jian multitalent tenan koe Nel berbunyi. Rupanya pihak panitia penyelenggara menanyakan keberadaan kami.

“Kami sudah di jalan, mbak. Oh iya, nggak perlu check sound kok mbak, gakpapa,” jawab Yesa, dan sebelum menutup sambungan telepon dia sempat bilang “Iya mbak makasih, i love you,” hahahaha. Kontan kami semua tertawa sekencang-kencangnya. Ini bocah benar-benar absurd, sampai bilang I love you segala sama mbak-mbak panitia. Betewe ternyata mbak yang di â”I love you”- in sama Yesa lumayan manis, namanya Tiara.

dcf 5
Saat check sound

Setelah melewati kampung-kampung, hutan pinus, ladang kubis dan kentang, serta jalan dengan kelokan-kelokan seksi yang aduhai, kami pun tiba di parkiran Kompleks Candi Arjuna pukul 18.00 WIB. Setelah melihat lokasi sekaligus ngecek alat yang diwarnai dengan insiden ngglundungnya Yogi kami kembali ke Pendopo Whitlam.

Berdasarkan rundown terakhir yang saya baca, SNF akan menjadi performer nomer 8 dan Absurd Nation Quartet menjadi penampil terakhir. Namun rupanya ad aperubahan jadwal mendadak, Absurd Nation tampil agak di awal-awal dan JFU menjadi last performer. Kontan anak-anak protes, dan rundown 4 performers terakhir dikembalikan seperti jadwal semula.

Sambil menunggu pertunjukan yang sempat mundur lama dari jadwal semula, saya melipir ke Museum Kailasa untuk menemui Mas Hendra, Mas Mogri, dan Mas Syam yang sudah duluan tiba di Dieng. Melihat saya yang berjalan sendirian di tengah dinginnya malam tanpa mengenakan jaket sontak mereka bertepuk tangan “Wah nggaya ik!” kata Mas Hendra. Saya cuma nyengir. Sebab sesudah mereka bilang seperti itu saya langsung mengeluarkan peralatan tempur lengkap, kaos kaki, jaket tebal, syal, kupluk, dan sarung tangan, hahaha.

dcf 3
Tetoba jadi ingat Ramayana Balet & Prambanan
dcf 2
Meski di atas awan, panggungnya nggak kalah dengan pertunjukan jazz di kemayoran kan? #eh

Usai makan intel rebus yang malam itu kenikmatannya meningkat sekitar 250% akibat udara dingin, kami berempat pun bergegas menuju venue. Rupanya orang-orang sudah berkumpul di pelataran candi. Posisi depan panggung sudah penuh terisi. Untuk di sisi kiri masih ada tempat lapang untuk membentangkan mantel sebagai alas duduk.

Malam itu ada 9 band yang akan tampil di gelaran Jazz Atas Awan yakni Teleskeblues (Banjarnegara), Dawai The Ethnicity (Bandung), Pandawa (Banjarnegara), Gelas Kaca (Jogja), Nalaswara (Purwokerto), JFU (Semarang), Harmony (Purwokerto), SNF Band (Salatiga), & Absurd Nation Quarted (Semarang). Belakangan saya ketahui bahwa ada penampilan penutup dari siswa SMA 1 Banjarnegara. Maklum, usai SNF Band tampil kami langsung pulang.

dcf 8
Dawai The Etnichity

So far sebagai acara perdana Jazz Atas Awan ini cukup lumayan lah. Cuaca cerah tidak berkabut, taburan gemintang terlihat dengan jelas, background Candi Arjuna yang asyik, aroma tanah & rumput basah, bau belerang yang samar, dingin yang menusuk hingga ke tulang, komplit. Best moment menurut saya adalah saat Dawai The Etnichity perform lagu kedua yang bercerita tentang gembala domba. Saya suka saat ada suara seruling di malam hari ditambah bebunyian etnik. Sayang soundnya tidak terlalu bagus sehingga kurang terdengar. Udara dingin membuat telinga agak berdengung, sehingga  sempat kehilangan tempo permaian antara masing-masing pemusik.

Meski tidak semua band menampilan musik jazz, setidaknya ada SNF Band, JFU, Nalaswara, & Absurd Nation yang sangat jazzy. Jazz Gunung di Bromo kemarin yang sempat saya lihat kalah jauh dibanding Jazz Atas Awan. Maksudnya kalah dalam soal ketinggian dan temperatur hahaha. Kalau di Jazz Gunung ketinggiannya baru 2000 m dpl dan suhu belasan derajat celsius, di Jazz Atas Awan sudah mencapai 2300-an m dpl dengan suhu 7 derajat celcius, gila kan? Pantes aja drum-nya sampe mengembun dan keyboardnya sampe basah kuyup. Tapi kalau soal line up performers mah, jangan dibandingin. Wong yang sana bayar 250 rebu & yang sini gratis hehe.

5875_10200325986813829_1589561233_n
Jalu & Denny, vokalis & bassist jawara yg tahan tidak pakai jaket di suhu 7 derajat
dcf 9
Nah, keyboardist yang pake capucone itu adek tercintah saya, Yogi hehe

Selesai perform saya sempat tanya ke teman-teman SNF “Piye?”, “Brrrr, uadem mbak, iki judule jazz ngewel,” hahahaha. Anggap saja ini sebagai latihan sebelum nanti kalian pentas di Jazz Gunung tahun-tahun mendatang ya! Ini doa lho. Ayo diamini. Amiiin.

Ps: Berhubung udara sangat dingin saya malas mengeluarkan kamera, lagipula gambar di kamera saya tidak terlalu bagus. Jadi semua foto yang ada disini saya pinjam dari gallerynya Jazz Atas Awan

Elisabeth Murni
Elisabeth Murni

Ibu Renjana | Buruh partikelir paruh waktu | Sesekali bepergian dan bertualang.

Articles: 250

One comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *