Hampir satu bulan berlalu sejak kepulangan bapak ke rumah abadinya. Dan saya merasa hilang arah. Padahal kalau dipikir-pikir, dari semua keluarga inti saya justru yang paling berjarak bahkan sengaja membuat jarak dengan bapak.
Terlampau sering kecewa dan sakit hati membuat saya memutuskan untuk tidak terlalu mendekat. Dengan posisi yang sedikit jauh membuat saya bisa melihat segala hal tentang bapak lebih terang, lebih jelas. Saya tak lagi didekap amarah, namun cinta juga tak terlalu melimpah.
Semenjak saya memilih pergi meninggalkan rumah, saya belajar untuk tak lagi membebani, untuk tak lagi ketergantungan. Mandiri menjadi pilihan. Oh, lebih tepatnya menghindar. Bukan tanpa alasan. Sekali lagi supaya saya tak rentan terluka.
Saya mencoba memulihkan hubungan. Merekatkan ikatan hati yang sedikit retak. Sulit. Tapi saya terus belajar. Meski kerap saya berubah menjadi sosok tak peduli, sejatinya bapak selalu memiliki tempat tersendiri di dalam hati.
Lantas badai itu tiba. Sekali lagi kepercayaan saya diuji, kekuatan hati dihantam habis-habisan. Pada titik ini saya pikir saya akan menyerah. Namun justru momen ini menjadi titik balik. Saya lupakan semua pertengkaran yang pernah terjadi. Saya belajar mengampuni dengan sepenuh hati.
3 bulan adalah waktu yang Tuhan beri untuk saya memulihkan hubungan dengan bapak. Menjaga bapak pada beberapa malam, menyiapkan segala keperluan, mendaraskan doa-doa, melangitkan harapan baik, semua saya lakukan tanpa paksaan.
Doa saya satu, saya ingin bersama bapak lebih lama. Melakukan lagi hal-hal yang bertahun-tahun terlupa. Menikmati waktu yang sudah terbuang sia-sia karena ego masing-masing. Saya ingin menghapus jarak. Saya ingin mendengar bapak mendongeng untuk lelaki kecil saya, Renjana, seperti bapak mendongengi saya belasan tahun silam.
Tapi Tuhan berkata lain. Dia memanggil pulang bapak teramat cepat. Dan Tuhan ijinkan saya untuk menjadi sosok yang menyelesaikan semua urusan yang tertunda, mendampingi bapak hingga detik terakhir, menjadi pengirim kabar duka untuk seluruh keluarga, bahkan satu-satunya yang mengantarkan hingga ke pemakaman di saat ibu dan adik tak lagi mampu.
Saya, di sulung yang memilih berjarak dengan bapak justru menjadi orang terdekat di saat-saat terakhirnya. Seolah bapak memang memilih saya untuk menggantikan tugasnya selama ini. Menjadi penopang dan sandaran untuk ibu serta adik, menjadi pemimpin yang mengambil tiap keputusan, bahkan menjadi pelindung keluarga dari amuk duka yang melanda.
Saya ingat betul, kurang dari dua jam sebelum bapak berpulang beliau masih minta saya menyuapi air putih menggunakan sendok. Lantas beliau menggenggam tangan saya erat saat saya melantunkan sebuah kidung pujian. Saya tak tahu, bahwa itu adalah akhir dari kebersamaan saya dan bapak.
Saya bersyukur, di saat-saat terakhir kebersamaan kami, bukanlah jarak yang tercipta, namun kedekatan yang terasa. Saya bersyukur, di tengah duka yang melanda, saya diberi kekuatan untuk terus melangkah bahkan membagikan pundak untuk hati yang kehilangan.
Kini hampir sebulan bapak berpulang. Ibu dan adik sudah pulih seperti semua dan menjalani hari seperti biasa. Namun entah mengapa sekarang justru saya merasakan luka yang kembali terbuka. Entah, sepertinya “kepura-puraan untuk berlagak sok tangguh” memang ada batasnya. Mungkin saya perlu membuka topeng, memunculkan wajah asli, dan berujar bahwa saya tak baik-baik saja.
Pak, ijinkan saya menangis sepuasnya kali ini…
turut berduka ya… Saya jd ingat setaun lalu ketika papa saya pergi meninggalkan kami keluarganya… This too will past … Entah kapan… Beliau akan selalu ada di pikiran dan di hati… Semoga beliau beristirahat dgn tenang
Ah aku mbebes mili baca, ini
Bersyukur masih bisa menemani bapak hingga hari akhirnya ya mbak, bagaimanapun seorg Bapak pasti punya tempat dihati kita.
Sudah, berhenti merasa tangguh mbak, menangis boleh kok *peluk
Baca ini aku jd merasa belum berbuat apa2 buat bapak. Belum siap kalau sewaktu-waktu harus ditinggal 🙁
nangis bacanya mbak hikksss
Ah mba, ini kali pertama aku main di blog mba dan langsung dapat tulisan ini. Kehilangan orang tua itu ngga ada obat penawarnya. 🙁
terimakasih sudah berkunjung, mbak 🙂
Bersabarlah mba,Saya juga sudah lama di tinggakan oleh bapak dari umur 1 tahun, dan buat temen-temen yang masih lengkap ibu dan bapak sayangi lah mereka 🙁